Bloomberg Technoz, Jakarta - Para pemodal asing mulai kembali lagi ke pasar Surat Berharga Nasional (SBN) dengan membukukan nilai net buy dalam dua hari perdagangan pekan lalu senilai Rp12,44 triliun.
Namun, posisi kepemilikan asing di SBN masih tergerus ke level terendah sejak November jadi sebesar Rp818,7 triliun per 14 Maret lalu di mana itu ekuivalen dengan nilai net sell asing sebesar Rp23,34 triliun sepanjang tahun 2024.
Sementara di pasar saham dan Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI), asing masih membukukan net buy masing-masing sebesar Rp19,68 triliun dan Rp23,84 triliun.
Bank Indonesia melaporkan, pada dua hari transaksi di pekan pendek kemarin, 13-14 Maret, pemodal asing membukukan posisi net buy di pasar keuangan domestik senilai Rp21,72 triliun. Asing kembali ke pasar SBN dan lanjut memborong saham di bursa domestik dengan nilai net buy Rp8,91 triliun. Sedang di SRBI, nilai net buy tidak terlalu besar yaitu Rp370 miliar.
Pada perdagangan terakhir pekan lalu, pasar SBN masih tertekan tersengat sentimen bearish pasar global pasca data-data ekonomi Amerika Serikat memperkuat skenario higher for longer suku bunga The Fed.
Surat Utang Negara (SUN/INDOGB) terutama tenor pendek menjadi yang paling tinggi kenaikan imbal hasilnya. Imbal hasil INDOGB 2Y melonjak 3,6 bps ke 6,30% pada Jumat dan membawanya sebagai seri SBN dengan lonjakan yield terbesar sebulan terakhir, mencapai 15,1 bps, seperti ditunjukkan oleh data Bloomberg.
Sedangkan INDOGB 1Y naik 1,8 bps ke 6,41% dan sebulan terakhir imbal hasilnya naik 9,6 bps. Begitu juga tenor 3Y yang naik 2,7 bps menjadi 6,39%, sehingga sebulan terakhir imbal hasilnya naik 4,8 bps. Adapun tenor acuan INDOGB 10Y hanya naik tipis 1 bps ke level 6,63% atau naik 1,6 bps sebulan terakhir.
BI borong SBN
Pekan lalu pasar diliputi sentimen bearish yang menguat pasca dua data inflasi AS, yaitu inflasi harga konsumen (CPI) dan inflasi harga produsen (PPI) mencatat angka yang kuat. Inflasi PPI bahkan naik terbesar dalam enam bulan, membuat ekspektasi pasar terhadap penurunan bunga The Fed mengecil.
Data ekonomi AS yang menunjukkan 'perang' The Fed membawa inflasi kembali ke target 2% masih belum usai sehingga memicu aksi jual cukup besar di pasar global. Yield Treasury, surat utang AS, tenor 10Y mencatat lonjakan imbal hasil ke 4,30% dan tenor 2Y naik ke 4,72%. Indeks harga obligasi negara maju tertekan di zona merah lima hari berturut-turut dan membawanya mencetak weekly loss 0,9%.
Apa yang terjadi di pasar surat utang global menular ke pasar dalam negeri di mana pada perdagangan Jumat kemarin pasca data inflasi PPI, terjadi aksi jual cukup masif di pasar surat utang domestik terutama tenor pendek.
Bank Indonesia terindikasi masuk ke pasar menahan kejatuhan harga surat utang, menurut pengamatan para pedagang pasar, seperti dilansir Bloomberg News, pekan lalu.
BI memborong surat utang agar tekanan terhadap nilai tukar bisa diimbangi. Para investor domestik juga terlihat memborong surat utang seiring jatuh tempo surat utang seri FR70 pada Jumat kemarin. Data Bloomberg mencatat, nilai jatuh tempo mencapai Rp122,4 triliun.
"Pasar masih terkendali dan kami terus memonitor perkembangannya," kata Edi Susianto, Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter Bank Indonesia.
Operasi moneter melalui pembelian surat utang dilakukan sebagai bagian dari upaya mendukung stabilitas rupiah dan memastikan likuiditas rupiah di pasar tetap memadai.
Rupiah ditutup melemah Jumat lalu di Rp15.595/US$, mencerminkan weekly loss di kisaran 0,03%. Namun dalam perdagangan intraday, nilai rupiah sempat terperosok ke level Rp15.638/US$.
Peringkat surat utang
Lembaga pemeringkat global Fitch Ratings mempertahankan peringkat kredit Indonesia (Sovereign Credit Rating) di posisi BBB, posisi yang berada satu tingkat di atas level terendah investment grade, dengan outlook stabil pada 15 Maret lalu.
Fitch memperkirakan pertumbuhan ekonomi RI akan melemah ke 4,9% tahun ini di tengah pelemahan permintaan global yang mempengaruhi pendapatan ekspor. Namun, pada 2025, pertumbuhan ekonomi RI berpeluang bangkit ke 5,3% di tengah didapatinya kepastian pasca Pemilu dan Pilpres 2024 akan menarik investor yang selama ini menahan diri.
"Kami berasumsi kebijakan ekonomi Indonesia secara luas akan berlanjut pada pemerintahan yang baru," kata Fitch dalam siaran persnya Jumat pekan lalu.
Namun, Fitch tetap mengulangi lagi peringatannya terkait risiko fiskal RI jangka menengah menyusul program populis pemerintahan baru. Lembaga pemeringkat berpengaruh ini memperkirakan defisit fiskal APBN 2024 akan di kisaran 2,5%.
Sementara pada 2025, defisit fiskal akan di kisaran 2,9%, tipis di bawah batas yang diperbolehkan Undang-Undang di 3%.
Fitch Ratings juga memperkirakan penurunan pendapatan dibanding PDB menjadi 14,6% pada tahun ini, dari 15% pada 2023 gara-gara kejatuhan harga komoditas global. Sedang defisit transaksi berjalan melebar jadi 1% dari PDB dan pada 2025 akan makin lebar ke 1,8%.
“Afirmasi rating Indonesia pada peringkat BBB dengan outlook stabil menunjukkan keyakinan kuat pemangku kepentingan internasional atas stabilitas makroekonomi dan prospek ekonomi jangka menengah Indonesia yang tetap terjaga pasca pelaksanaan Pemilu 2024," komentar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menanggapi penilaian terbaru Fitch Ratings tersebut.
(rui)