Namun, Ferdy memproyeksikan bahwa harga tembaga yang bullish hanya akan bertahan pada 2 hingga 3 bulan ke depan. Setelahnya, harga akan turun walaupun tidak terlalu signifikan.
Perlu diketahui, harga tembaga menanjak usai para pemilik smelter China di Beijing untuk membahas langkah-langkah termasuk potensi pengurangan produksi. Perusahaan-perusahaan tersebut merespons ketatnya pasar konsentrat global yang menyebabkan biaya pemrosesan turun mendekati nol.
Namun, Ferdy meyakini hal tersebut juga tidak akan berpengaruh kepada produsen tembaga di Indonesia. Apalagi, produsen besar seperti Freeport dan Amman sudah memiliki kontrak jangka panjang dengan pembeli selain China, yakni Jepang salah satunya.
“Kalau harga naik, yang berpengaruh itu dari sisi produksi dan penerimaan negara begitu juga daerah. Namun, kalau pembeli, 2 perusahaan itu sudah punya pembeli yang jelas sejak dahulu. Dengan adanya smelter China atau tidak di Indonesia, mereka tidak terpengaruh,” ujarnya.
Selain itu, kedua produsen tembaga tersebut justru akhir-akhir ini diuntungkan dengan adanya pembangunan ekosistem kendaraan listrik atau electric vehicle (EV), khususnya untuk baterai. Tembaga merupakan salah satu elemen penting dalam baterai EV.
Menurut Ferdy, keadaan kahar (force majeure) yang menghambat produksi, seperti mogok tenaga kerja, yang justru akan memberikan pengaruh terhadap perusahaan. Dalam kaitan itu, PTFI dan Amman tentu harus bernegosiasi dengan pembeli ihwal produksi tembaga.
Terpisah, PT Amman Mineral Industri, anak usaha PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) menilai perubahan harga tembaga menuju US$9.000/ton tidak memberikan pengaruh langsung terhadap strategi produksi dan penjualan.
Vice President of Corporate Communications and Investor Relations AMMN Kartika Octaviana menyampaikan bahwa fokus dari perusahaan adalah mempertahankan basis biaya yang rendah dan kompetitif.
“Sebagai price taker, perubahan harga tembaga di dunia tidak mempengaruhi secara langsung strategi produksi dan penjualan. Fokus kami sebagai perusahaan tambang tembaga adalah mempertahankan basis biaya yang rendah dan competitive advantage kami,” ujar Kartika saat dihubungi Bloomberg Technoz, Jumat (15/3/2024).
Harga tembaga melanjutkan kenaikannya menuju US$9.000 per ton, mencapai level tertinggi dalam 11 bulan terakhir. Para investor pun bertaruh pada penurunan pasokan global.
Harga logam ini naik 0,6% setelah lonjakan 3,1% pada Rabu (13/03/2024), menyusul pertemuan para pemilik smelter China di Beijing untuk membahas langkah-langkah termasuk potensi pengurangan produksi.
Smelter di China, sebagai produsen dan konsumen logam olahan terbesar di dunia, berada pada titik kritis setelah biaya pengolahan dan pemurnian (treatment and refining charges) - jumlah yang mereka terima untuk mengubah konsentrat menjadi logam - anjlok ke angka satu digit.
Hal ini mendorong diskusi tentang kemungkinan pengurangan produksi di pabrik-pabrik yang sangat bergantung pada bahan baku impor.
"Kenaikan harga ini terjadi lebih awal dari perkiraan pasar, dan mungkin masih bisa berlanjut," kata Li Xuezhi, kepala Chaos Ternary Research Institute, dalam sebuah catatan. Biaya pemrosesan yang terus rendah "telah menyebabkan pemboikotan dari smelter," kata Li.
(dov/wdh)