Prospek Permintaan
Kendati demikian, Meidy mengaku optimistis soal prospek permintaan nikel Indonesia ke depannya. Menurutnya, nikel Indonesia bakal dibutuhkan baik untuk baja nirkarat atau stainless steel, maupun baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).
Apalagi, lanjutnya, saat ini tengah terdapat kajian untuk pengembangan baterai EV dari nikel dengan harga lebih terjangkau, yakni nickel manganese alumunium (NMA). Harganya juga dinilai hampir sama dengan baterai lithium ferro-phosphate (LFP). Dengan demikian, baterai nikel berpotensi tidak lagi dikhususkan untuk segmen EV high-end.
“Makanya, di Jepang dan Korea Selatan sedang ada pengembangan NMA dan itu hampir menyerupai ongkos produksi LFP. Jadi kalau bicara produk nikel ke depan, demand tetap ada,” ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah berkeras tidak akan memaksa penambang nikel di dalam negeri untuk memangkas produksi, kendati suplai dari Indonesia terhadap komoditas mineral logam tersebut tengah membanjiri dunia dan menyebabkan harga rontok tahun lalu.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Septian Hario Seto mengatakan pemerintah punya mekanisme sendiri untuk menjaga titik kesetimbangan atau ekuilibrium produksi nikel, tanpa harus memberlakukan kebijakan pemangkasan produksi.
“Saya kira pemerintah itu kan ada satu kontrolnya. Itu dari RKAB [rencana kerja dan anggaran biaya pertambangan]. Jadi, dari suplai nickel ore-nya itu kan tidak bisa naik terus-terusan [karena produksinya harus sesuai RKAB],” ujar Seto saat ditemui akhir Februari.
Selain RKAB pertambangan, lanjutnya, mekanisme tidak langsung dalam mengendalikan produksi nikel di Indonesia adalah analisis dampak lingkungan (amdal).
“Kan ada amdal. Kalau mereka [penambang] mau naikin produksi, ya amdalnya harus direvisi. Prosesnya juga bukan proses yang mudah. Pemerintah juga pasti akan mengecek, benar tidak ini aspek lingkungannya dan segala macam, untuk bisa comply."
Dengan demikian, secara tersirat Seto mengelak tudingan bahwa Indonesia melakukan ekstensifikasi produksi nikel yang memicu runtuhnya harga komoditas tersebut di tingkat global. Banjir nikel RI yang menyebabkan surplus di pasar logam dunia padahal diproyeksi terus akan terjadi setidaknya sampai 2030.
Seto berdalih persyaratan ketat seperti RKAB pertambangan dan amdal tetap membuat produksi nikel Tanah Air tidak bisa naik begitu saja secara drastis.
Lagipula, ujar Seto, perusahaan tambang nikel di Indonesia pun tidak akan serta-merta memacu produksi agar tidak mengalami kerugian, terutama di tengah harga yang tengah melembam.
“Saya kira itu proses ekuilibrium. Kalau di harga nikel seperti sekarang, saya kira bukan banyak sih [produksinya]. [Terbukti,] hampir seluruh perusahaan smelter dan tambang [di dalam negeri] profit-nya masih bagus.”
(wdh)