Moshe menggarisbawahi penggunaan BBM di Indonesia untuk transportasi, khususnya kendaraan pribadi, tetap dibutuhkan di tengah maraknya perkembangan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). Terlebih, perkembangan adopsi EV membutuhkan waktu yang lama.
Sebagai gambaran, populasi dari EV di Amerika Serikat hanya 2% dibandingkan dengan mobil konvensional atau internal combustion engine (ICE). Padahal, kata Moshe, AS sudah masif mengembangkan EV sejak 15 tahun lalu dengan kehadiran Tesla.
Selain itu, infrastruktur di AS lebih mumpuni, di mana Negeri Paman Sam tersebut memiliki 160 ribu Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU).
“Memang penjualan EV tetap meningkat, tetapi untuk meningkatkan porsi dari jumlah EV dibandingkan dengan ICE itu butuh waktu. AS sudah 15 tahun lalu [pengembangan EV] sejak Tesla, tetapi [populasi] baru 2% dibandingkan ICE,” ujarnya.
Dengan demikian, perkembangan EV di Indonesia tentu membutuhkan lebih banyak waktu, terlebih Indonesia saat ini belum memiliki infrastruktur yang memadai. Selain itu, Indonesia merupakan negara kepulauan yang tentu memiliki tantangan jauh lebih besar dibandingkan AS.
“EV ini bayangin, untuk sampai level 2% di AS butuh 15 tahun dengan 160 ribu SPKLU. Di Indonesia ada berapa? untuk capai 2% loh itu. Di Indonesia bagaimana? mau berapa SPKLU?,” pungkasnya.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sebelumnya mengatakan target produksi siap jual atau lifting minyak Indonesia sebanyak 1 juta barel pada 2030 dipastikan mundur selama 2 hingga 3 tahun. Dengan demikian, target tersebut diproyeksikan baru bisa tercapai pada 2033.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan peninjauan ulang (review) terhadap target yang termaktub dalam rencana jangka panjang atau long term planning (LTP) perlu dilakukan, khususnya karena adanya pandemi Covid-19 yang menghambat operasional lifting minyak.
Dwi mengeklaim SKK Migas telah berkomitmen untuk mencapai target tersebut, bahkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga sudah melakukan penandatanganan komitmen untuk mewujudkan target tersebut. Namun, upaya tersebut terhambat dengan adanya pandemi Covid-19.
“Sebenarnya sudah dapatkan resume, tetapi belum secara resmi kita launching LTP baru, intinya [target lifting minyak 1 juta barel pada 2030] mundur sekitar 2—3 tahun karena diakibatkan pandemi yang kita hadapi,” ujar Dwi dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR, Rabu (13/3/2024).
Kemunduran target 1 juta barel pada 2030 juga sejalan dengan penurunan target lifting minyak pada 2024.
Target lifting minyak sesuai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah 635 million barrel oil per day (MBOPD) target tersebut mengalami penurunan dari realisasi lifting minyak sebesar 605,5 MBOPD pada 2022.
Sementara itu, target salur gas adalah 5,785 million standard cubic feet per day (MMSCFD) pada 2024 atau mengalami peningkatan dibandingkan dengan realisasi salur gas 5.376 MMSCFD pada 2023.
(dov/wdh)