“Saya bicara mengenai chemical EOR [CEOR], buat apa kita? Sudah telat menuju ke sana karena produksi makin lama makin turun, maka makin mahal biayanya."
Strategi kedua, eksplorasi yang secepat mungkin menjadikan cadangan menjadi produksi. Hal ini juga tidak lepas kaitannya dengan teknologi tambahan untuk EOR.
Dalam kaitan itu, Moshe menyoroti upaya PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) resmi melakukan tajak sumur ke 1.000 di wilayah kerja (WK) Rokan beberapa waktu lalu, tetapi tidak berpengaruh terhadap realisasi lifting dan produksi nasional.
Alih-alih mengeluarkan biaya hingga miliaran dolar untuk mengebor 1.000 sumur, Moshe menyebut teknologi EOR tepat guna bisa digunakan.
Untuk diketahui, EOR merupakan salah satu metode pengurasan lapangan minyak tahap tersier yang dilakukan dengan menginjeksikan bahan kimia tertentu (polimer atau surfaktan-polimer) secara berpola dari sumur injeksi untuk mengubah karakteristik fluida dan batuan reservoir, sehingga dapat melepaskan minyak yang terikat di batuan agar dapat mengalir ke sumur produksi.
Metode ini diimplementasikan di Lapangan Minas setelah secara maksimal memproduksikan minyak menggunakan metode pengurasan primer serta sekunder (waterflood).
Di tempat terpisah, Direktur Jenderal Minyak dan Gas (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan saat ini pemerintah memang berharap pada proyek minyak nonkonvensional (MNK) dan EOR untuk mengatrol produksi siap jual.
“Kalau berhasil, saya kira keduanya akan menyumbang kontribusi besar untuk produksi minyak. Ini dari perspektif Dirjen Migas ya. Tentunya MNK tergantung apa yang dilakukan di Blok Rokan ya, yang sekarang baru dibor di Sumur Gulamo dan Kelok. Kalau hasilnya bagus, dalam 2 bulan akan ada info detail soal itu.”
Sekadar catatan, PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) bersama dengan mitranya memang telah berencana melakukan pengeboran terhadap dua sumur yang berada di Blok Rokan, yakni sumur Gulamo dan Sumur Kelok. Potensi MNK inplace di kedua sumur tersebut mencapai 80 juta barel.
Sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sebelumnya mengatakan target lifting minyak Indonesia sebanyak 1 juta barel pada 2030 dipastikan mundur selama 2 hingga 3 tahun. Dengan demikian, target tersebut diproyeksikan baru bisa tercapai pada 2033.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan peninjauan ulang (review) terhadap target yang termaktub dalam rencana jangka panjang atau long term planning (LTP) perlu dilakukan, khususnya karena adanya pandemi Covid-19 yang menghambat operasional lifting minyak.
“Sebenarnya sudah dapatkan resume, tetapi belum secara resmi kita launching LTP baru, intinya [target lifting minyak 1 juta barel pada 2030] mundur sekitar 2—3 tahun karena diakibatkan pandemi yang kita hadapi,” ujar Dwi dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR, Rabu (13/3/2024).
Setidaknya terdapat dua alasan yang melandasi SKK Migas untuk memundurkan target tersebut. Pertama, LTP sudah terbentuk sejak 5 tahun lalu sejak 2019, sehingga perlu dilakukan peninjauan kembali. Kedua, adanya pandemi selama 2—3 tahun yang menghambat operasional lifting minyak.
Adapun, kemunduran target 1 juta barel pada 2030 juga sejalan dengan penurunan target lifting minyak pada 2024.
Target lifting minyak sesuai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah 635 million barrel oil per day (MBOPD) target tersebut mengalami penurunan dari realisasi lifting minyak sebesar 605,5 MBOPD pada 2022.
Sementara itu, target salur gas adalah 5,785 million standard cubic feet per day (MMSCFD) pada 2024 atau mengalami peningkatan dibandingkan dengan realisasi salur gas 5.376 MMSCFD pada 2023.
(wdh)