Esther menegaskan, naiknya PPN menjadi 12% pada tahun depan jika hanya melemahkan pertumbuhan ekonomi. maka penerimaan pajak yang didapat akan lebih sedikit. Oleh karena itu, kata Esther, sebaiknya pemerintah melakukan langkah-langkah perbaikan ekonomi terlebih dahulu sebelum mengeluarkan kebijakan ini.
“Menurut kami PPN ini teorinya kalau pertumbuhan ekonomi tinggi, tax revenue tinggi. Ini kan kalau tarif pajaknya ditingkatkan sementara itu melemahkan PE nah pastinya nanti tax reveneunya lebih sedikit,” tuturnya.
Ia juga mengatakan, kenaikan PPN bisa membuat upah riil yang diterima masyarakat lebih rendah. Serta, terdapat potensi penurunan ekspor akibat seluruh bahan baku dikenakan PPN yang naik.
“Jadi impactnya tidak hanya menggerus daya beli masayrakat, upah riilnya rendah, ekspornya juga akan lebih rendah soalnya bahan bakunya kan kena PPN semua,” tutup Esther.
Untuk diketahui, kenaikan tarif tersebut, sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam pasal 7 beleid itu, dijelaskan tarif PPN yaitu sebesar 11% yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022 dan 12% yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
“Tarif PPN sebesar 12% yang mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025,” sebagaimana dikutip melalui beleid tersebut.
Keputusan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada tahun 2025 turut ditegaskan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Ia menyampaikan, kenaikan tarif PPN dipastikan dilakukan pada tahun depan.
(azr/lav)