Dia berpendapat target lifting 1 juta bph pada 2032—2033 juga berpotensi menjadi angan belaka lantaran Indonesia tidak lagi mendapatkan penemuan raksasa yang bisa mendongkrak lifting dan mencapai target tersebut.
Target Asal
Lebih lanjut, Moshe mengatakan pemerintah cenderung hanya menetapkan target berupa angka lifting minyak sebesar 1 juta bph pada 2030, tetapi tidak benar-benar memikirkan strategi untuk mencapai target tersebut, mulai dari biaya, siapa yang akan mendanai hingga teknologi yang digunakan.
“Jadi target hanya sekadar target yang plot angka tanpa benar-benar pikirkan bagaimana caranya and what it takes untuk mencapai itu, itu tidak pernah dipikirkan,” ujarnya.
Terlebih, saat ini banyak lapangan yang sudah berumur tua sehingga diperlukan investasi tambahan untuk penggunaan teknologi enhanched oil recovery (EOR).
Dalam kaitan itu, pemerintah dinilai juga tidak menciptakan iklim investasi berupa kepastian perpanjangan kontrak bagi investor yang berkomitmen untuk meningkatkan produksi.
Apalagi, pemerintah justru bakal mengambil alih pengelolaan blok-blok dengan realisasi lifting yang mumpuni, seperti yang terjadi pada Blok Mahakam dan Blok Rokan.
“Akhirnya mereka [investor] berpikir; ‘Yaudah sampai kita tidak ada kepastian perpanjangan kontrak ya saya tidak terlalu banyak investasi’, sedangkan EOR butuh investasi tambahan,”
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengatakan target produksi siap jual atau lifting minyak Indonesia sebanyak 1 juta barel pada 2030 dipastikan mundur selama 2 hingga 3 tahun. Dengan demikian, target tersebut diproyeksikan baru bisa tercapai pada 2033.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan peninjauan ulang (review) terhadap target yang termaktub dalam rencana jangka panjang atau long term planning (LTP) perlu dilakukan, khususnya karena adanya pandemi Covid-19 yang menghambat operasional lifting minyak.
“Sebenarnya sudah dapatkan resume, tetapi belum secara resmi kita launching LTP baru, intinya [target lifting minyak 1 juta barel pada 2030] mundur sekitar 2—3 tahun karena diakibatkan pandemi yang kita hadapi,” ujar Dwi dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR, Rabu (13/3/2024).
Di tempat terpisah, Direktur Jenderal Minyak dan Gas (Dirjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengatakan proyeksi bahwa target lifting minyak 1 juta barel baru bisa terealisasi pada 2032 atau 2033 cukup masuk akal.
“Bisa saja. Itu mungkin rencananya masih di SKK Migas ya, tetapi kalau menurut kami bisa saja,” ujarnya, Kamis (14/3/2024).
Menurut Tutuka, sebelum bisa merealisasikan target ambisius tersebut, strategi awal yang akan dilakukan pemerintah adalah menahan penurunan produksi minyak nasional. Terlebih, upaya penemuan lapangan minyak baru masih cukup menantang.
“Harus ada penemuan baru, lapangan baru yang minyak. Namun, lapangan baru yang kita temukan kebanyakan [justru] gas. Agak sulit. Namun, ada 1 lapaangan yang coba kita scope, lebih zoom, adalah di laut yang dikelola ONWJ. Itu [cadangannya] besar. Lapangan Zulu namanya, tetapi itu lapangannya [mengandung minyak pekat] heavy. Saya sarankan Pertamina eksploitasi itu, Zulu. Gede banget.”
(dov/wdh)