Logo Bloomberg Technoz

“Data yang lebih baik dari ekspektasi ini mencerminkan pemulihan di sektor perdagangan global. Namun, ada pula faktor efek basis yang rendah (low base effect) karena pada Februari 2023 ekspor tumbuh -6,8%,” kata Xu Tianchen, Ekonomi Senior Economist Intelligence Unit, dalam risetnya.

Selain itu, arus perdagangan dunia pun terlihat semarak. Ini terlihat dari Baltic Dry Index (BaDI) yang melesat. Sepanjang Februari, BaDI melonjak 51%.

Meski begitu, pada dasarnya ekonomi dunia masih penuh ketidakpastian. Masih banyak risiko yang mengintai sehingga bisa kembali menjatuhkan volume perdagangan global.

"Kita memang tidak bisa lepas dari apa yang terjadi di global. Menjadi sangat penting bagaimana ekonomi global karena semua sudah saling terkait," kata Destry Damayanti, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), dalam acara Bloomberg Technoz Economic Outlook 2024 di Hotel Westin, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Menurut Destry, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Pertama adalah tensi geopolitik yang belum usai, bahkan makin meluas.

Saat friksi Rusia-Ukraina atau Israel-Hamas belum selesai, kini ada ketegangan lain seperti di Laut Merah. Ini menyebabkan distribusi barang terganggu.

"Biasanya arus barang Eropa-Asia langsung lewat Laut Merah atau Terusan Suez, tetapi sekarang harus memutar karena ada keributan di Yaman. Sekarang 10-14 hari lebih lama," imbuh Destry.

Faktor kedua, lanjut Destry, adalah fakta bahwa ekonomi global melambat. Selain itu, terjadi pula fragmentasi atau perbedaan.

"Amerika bisa tumbuh lebih baik dari negara-negara maju lainnya, sementara Eropa sangat berat. Di Asia, India tumbuh solid tetapi Tiongkok mulai agak mereda karena ada permasalahan properti dan sebagainya. Pertumbuhan ekonomi 2024 akan trending down untuk global," terang Destry.

Faktor ketiga, demikian Destry, adalah proses disinflasi yang terjadi secara gradual. Inflasi, terutama di negara-negara maju, memang menurun tetapi lajunya sangat lambat.

"Sehingga kita menghadapi environment yang higher for longer. Suku bunga global, kita lihat misalnya Fed Funds Rate, kami perkirakan baru semester II akan turun. Mereka masih pertahankan suku bunga tinggi," tuturnya.

Impor Melonjak

Sementara itu, konsensus Bloomberg menghasilkan median proyeksi pertumbuhan impor Februari sebesar 10,27% yoy. Jauh lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang naik 0,36%.

Sepertinya faktor Ramadan menjadi penyebab lonjakan impor Februari. Tahun ini, Ramadan jatuh pada Maret dan biasanya dunia usaha sudah bersiap sebulan sebelumnya, yaitu Februari. Dunia usaha akan banyak melakukan impor untuk mengantisipasi lonjakan permintaan saat Ramadan, yang merupakan puncak konsumsi masyarakat di Tanah Air.

Peningkatan permintaan jelang Ramadan sudah terlihat dari data penjualan ritel. Bank Indonesia (BI) memperkirakan penjualan ritel yang dicerminkan dengan Indeks Penjualan Riil (IPR) tumbuh 3,6% yoy pada Februari. Lebih tinggi ketimbang pertumbuhan bulan sebelumnya yang sebesar 1,1% yoy.

"Peningkatan tersebut didorong oleh meningkatnya pertumbuhan Kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau, serta membaiknya Kelompok Peralatan Informasi dan Komunikasi dan Kelompok Barang Budaya dan Rekreasi," sebut laporan BI.

Namun walau ekspor turun dan impor melesat, tetapi sepertinya neraca perdagangan Indonesia masih akan membukukan surplus pada Februari. Konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg menghasilkan median proyeksi US$ 2,32 miliar. Lebih tinggi ketimbang Januari yang surplus US$ 2,01 miliar.

Jika terwujud, maka neraca perdagangan Indonesia akan mengalami surplus selama 46 bulan beruntun. Kali terakhir neraca perdagangan mengalami defisit adalah pada April 2020.

Dalam 20 tahun terakhir, ini adalah rangkaian surplus terpanjang kedua. Hanya kalah dari Februari 2004-Maret 2008 atau 50 bulan beruntun.

(aji)

No more pages