Bloomberg Technoz, Jakarta — Pemerintah menegaskan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 5/2023 ditujukan untuk mencegah badai pemutusan hubungan kerja (PHK) lebih lanjut di sektor industri padat karya, khususnya yang berorientasi ekspor.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 5/2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global memuat klausul yang memperbolehkan perusahaan berbasis ekspor untuk memangkas upah pekerjanya hingga 25%.
“Permenaker ini bertujuan untuk memberikan pelindungan dan mempertahankan kelangsungan bekerja [para] Buruh, serta menjaga kelangsungan usaha industri padat karya tertentu berorientasi ekspor dari dampak perubahan ekonomi global yang mengakibatkan penurunan permintaan pasar,” kata Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kemenaker Indah Anggoro Putri melalui siaran pers, Jumat (17/3/2023).
Menurutnya, melalui peraturan ini, pemerintah justru ingin mencegah perusahaan yang mengalami penurunan penghasilan melakukan PHK. Berdasarkan data kementerian, perusahaan padat karya tertentu berorientasi ekspor paling sedikit memiliki sekitar 200 orang pekerja. Beban tenaga kerja dalam produksi tercatat sekitar 15%. Itu pun tergantung pada permintaan pesanan dari negara pemesan yang biasanya Eropa dan Amerika Serikat.
Sejumlah perusahaan industri padat karya ini biasanya adalah industri tekstil dan pakaian jadi; industri alas kaki; industri kulit dan barang kulit; industri furnitur; dan industri mainan anak.
Sesuai Permenaker, kata Indah, perusahaan juga bisa mengurangi waktu kerja pegawai dari 7 jam per hari atau 40 jam per minggu, untuk skema kerja 6 hari per pekan. Sementara itu, skema kerja 5 hari per pekan, perusahaan bisa menekan biaya dengan mengurangi waktu kerja pegawai di bawah 8 jam per hari atau 40 jam per pekan.
Selain itu, keputusan pengurangan waktu kerja dan upah baru berlaku enam bulan setelah penetapan Permenaker No. 5/2023; atau sekitar September 2023. "Serta harus dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja atau buruh,” kata Indah.

Permintaan Ekspor Melambat
Meski bukan pembenaran, Badan Pusat Statistik (BPS) dalam pengumuman data perdagangan internasional Indonesia periode Februari 2023, memang menyebutkan pertumbuhan ekspor melambat. Nilai ekspor tercatat US$ 21,4 miliar. Angka ini memang naik 4,51% dibandingkan periode yang sama tahun lalu atau secara year on year (yoy).
Akan tetapi, realisasi itu lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan Januari 2023 yang 16,37% yoy dan menjadi yang terlambat sejak Oktober 2020. Secara bulanan atau month to month (mtm), ekspor bahkan kembali mengalami kontraksi 4,15%.

Sebelumnya, S&P Global telah menyoroti masalah ini. Data aktivitas manufaktur yang dicerminkan dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia memang masih menunjukkan ekspansi, dengan nilai indeks di atas 50. Namun terlihat laju ekspansi itu melambat.
Pada Februari 2023, skor PMI manufaktur Indonesia ada di 51,2, turun dibandingkan Februari yang 51,3. Subindeks keyakinan bisnis bahkan berada di titik terendah sejak Mei 2020.
Pada Februari 2023, produksi industri manufaktur memang masih meningkat, tetapi lebih didukung oleh permintaan dalam negeri. Sementara itu, permintaan ekspor masih turun. Dunia usaha yang menjadi responden menilai permintaan eksternal yang lemah masih membebani penjualan ekspor.
Faktanya, manufaktur atau industri pengolahan adalah kontributor utama dalam pembentukan PDB dari sisi lapangan usaha. Tahun lalu, sumbangan sektor ini terhadap PDB mencapai 18,34%, peringkat teratas.
(frg/wdh)