Terkontraksinya sejumlah saham-saham sektor energi ini sejalan dengan berbagai kekhawatiran akan turunnya kondisi perekonomian global akibat sejumlah pengetatan kebijakan moneter. Hal ini mengindikasikan penurunan permintaan energi dan aktivitas industri manufaktur.
Terkoreksinya sektor energi juga dilatarbelakangi oleh penurunan harga komoditas secara global, seperti minyak mentah, batu bara, natural gas, emas, perak, maupun tembaga.
Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI/Nymex) untuk kontrak April saat ini ada di US$ 69,44/barel, turun 13% dari US$ 80,26 pada awal 2023.
Senada, harga batu bara acuan di pasar ICE Newcastle (Australia) periode kontrak Maret saat ini ada di posisi US$ 174/ton. Harga mengalami penurunan tajam 55% dari puncaknya di US$ 393,1/ton pada awal 2023.
Salah satu katalis terkoreksinya harga batu bara adalah adanya sentimen dari China. Negara itu mengutarakan terdapat kenaikan produksi pada Januari hingga Februari 2023.
Adapun produksi batu bara China tercatat 734,23 juta ton pada periode tersebut. Jumlah ini meningkat 5,8% secara tahunan.
China juga akan membatasi impor batu bara kokas dari Australia karena sektor perindustrian China masih terkontraksi dan belum kembali seperti masa sebelum pandemi Covid-19.
Dengan penurunan angka impor, maka harga batu bara global bisa terus melanjutkan kontraksinya mengingat China adalah konsumen terbesar batu bara di dunia.
Dengan demikian, penurunan harga batu bara global akan berdampak negatif ke para emiten pertambangan dari sisi harga jual pada Average Selling Price (ASP). Bahkan tidak menutup kemungkinan akan menurunkan volume penjualan dan angka permintaan secara global.
Selain itu, runtuhnya ketiga bank di Amerika Serikat (AS) turut menjadi katalis negatif, di mana hal ini dikhawatirkan akan menyebar ke sektor bisnis lainnya, termasuk ke sektor energi.
Secara garis besar, ini adalah salah satu dampak dari kebijakan agresif Bank Sentral AS (The Fed), yang telah menaikkan suku bunga acuan dalam satu tahun terakhir.
Akan tetapi, sektor energi masih memiliki potensi yang menarik untuk dicermati pada 2023. Salah satunya adalah komoditas nikel, bersamaan dengan fokus Pemerintah Indonesia dalam mendorong kendaraan listrik. Terkini Pemerintah resmi mengumumkan program insentif kendaraan listrik atau Electric Vehicle (EV).
Selain nikel, Crude Palm Oil (CPO) produksi dalam negeri juga masih memiliki potensi yang cerah. Minyak sawit juga punya angin segar dari potensi pertumbuhan permintaan seiring dengan implementasi pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) atau biodiesel B35 pada awal Februari.
(fad/wep)