"Kamu dan aku, kita akan memulai sebuah petualangan kecil bersama. Petualangan itu akan menghabiskan waktu 17 tahun dalam musik, dan itu akan kita jalani bersama dalam satu era, bagaimana menuru kalian?," ujar Taylor saat konser di Los Angeles tahun lalu.
Jadi wajar jika, konser ini bisa dibilang sebagai konser paling diburu atau 'Most Wanted' tahun ini. Bayangkan, banyak negara berebut hanya untuk mendatangkan Taylor tampil di negaranya, seperti Thailand, Indonesia, bahkan beberapa negara di Eropa yang tidak kebagian jadwal tur dunia Taylor.
Semua itu karena dampak ekonomi yang dihasilkan Taylor lewat konsernya. Pada tahun lalu, saat menjalankan tur di Amerika Serikat, Taylor berhasil menaikkan GDP negara tersebut saat resesi menyerang.
Penyanyi miliarder ini telah menciptakan gelombang ekonomi selama tur globalnya yang memecahkan rekor, dalam sebuah fenomena yang dijuluki "Swiftonomics." Bloomberg Economics memperkirakan megabintang ini, bersama dengan tur Beyonce dan film "Barbenheimer", mungkin telah berkontribusi sebanyak US$8,5 miliar terhadap pertumbuhan AS pada kuartal ketiga 2023.
Tak hanya di Amerika Serikat, kekuatan konser ini juga telah dirasakan oleh Jepang, Australia dan Singapura.
Berikut efek Swiftonomics di tiga negara tersebut:
Jepang
Seperti diketahui di untuk ASIA, Taylor hanya mendatangi Jepang. Di Jepang, konser tersebut diprediksi akan menghasilkan pendapatan sekitar ¥34 miliar (sekitar Rp3,5 triliun) dari tiket, merchandise, makanan, hotel, dan aktivitas terkait lainnya.
Angka tersebut, dihitung oleh Mitsumasa Etoh, dosen di Universitas Kota Tokyo, kira-kira sama dengan jumlah yang dihasilkan Swifties (sebutan fans Taylor Swift) di Denver pada bulan Juli lalu.
Taylor yang baru saja memenangkan Grammy Award untuk Album of the Year pada hari Minggu, telah menjadi sorotan selama tur di AS. Mulai dari memicu sensor seismik di Seattle hingga menjadi miliarder.
Meskipun tur bagian pertama memicu histeria massal, ia kemungkinan akan mendapatkan sambutan yang lebih tenang di Jepang. Hal ini karena negara tersebut memiliki industri musik yang matang dengan nilai ¥300 miliar. Artis-artis lokal populer seperti Yoasobi dan Radwimps menyumbang 90% penjualan CD, DVD, dan media fisik lainnya.
Menurut Ryo Hirose, peneliti di NLI Research Institute, saat ini penggemar musik di Jepang cenderung fokus pada lagu hit. Bukan artis asing itu sendiri.
Australia
Dengan tujuh pertunjukan di dua kota terbesar di Australia pada 16-26 Februari, tur ini dapat menghasilkan nilai ekonomi sebesar A$1,2 miliar di Melbourne saja, menurut Wali Kota Melbourne, Sally Capp.
Namun, dengan tingkat tabungan negara yang berada di titik terendah sejak akhir tahun 2007 dan masalah biaya hidup yang membuat konsumen pesimis, para ekonom mengatakan hal ini mungkin hanya akan menjadi pukulan sementara.
"Tur Eras di Australia akan melihat ledakan pengeluaran untuk tiket, perjalanan, dan perhotelan. Namun, hal ini kemungkinan akan berdampak pada ekonomi di tempat lain," kata James McIntyre di Bloomberg Economics.
Empat konser yang terjual habis di Stadion Accor Sydney akan menjadi "rangkaian acara besar terbesar yang pernah kami adakan" sejak kota ini menjadi tuan rumah Olimpiade pada tahun 2000, ujar Kerrie Mather, kepala eksekutif operator lokasi Venues NSW. Sekitar 35% dari 320.000 penggemar di Sydney akan datang dari negara bagian lain atau luar negeri, tambahnya.
Singapura
Survey Bloomberg memperlihatkan angka median Pertumbuhan Domestik Bruto, PDB, mencapai 2,9% dalam tiga bulan pertama tahun 2024 yang merupakan pertumbuhan tercepat dalam enam kuartal terakhir.
Para ekonom juga meningkatkan ekspektasi pertumbuhan tahun 2024 menjadi 2,5% dari 2,3% sementara perkiraan pemerintah Singapura adalah 1%-3%.
Konser Tour Eras Taylor Swift di Singapura berlangsung enam malam hingga tanggal 9 Maret mendatang. Menurut ekonom DBS Bank Ltd. Han Teng Chua konser ini menguntungkan sektor hospitality, minuman & pangan serta ritel Singapura.
"Hal ini terutama didukung oleh belanja wisatawan asing karena jumlah fans dari luar negeri yang menonton konser di Singapura itu," kata Chua, yang memperkirakan bahwa pertunjukan itu menambah pemasukan sekitar S$225 juta - S$300 juta atau 0,2% dari PDB, ke ekonomi Singapura di kuartal pertama.
(spt)