Kriteria Kendaraan
Nantinya, terdapat kategori kendaraan yang bakal diatur untuk mengakses BBM jenis Pertalite dan Solar. Sebagai gambarannya, pemerintah bakal membatasi pembelian Solar hanya untuk kendaraan yang mengangkut bahan pangan, bahan pokok dan angkutan umum.
Hal ini dilakukan agar masyarakat umum tidak terbebani karena jenis angkutan umum tersebut tetap menggunakan solar yang disubsidi pemerintah.
“Revisi Perpres No. 191/2014 dilakukan agar alokasi BBM tepat sasaran, itu semuanya kan harus tepat sasaran. Kalau tidak, pemerintah rugi dan yang menikmati adalah orang yang tidak tepat,” ujar Arifin.
Menurut kabar yang beredar, melalui revisi peraturan tersebut, nantinya akses pembelian Pertalite akan dilarang untuk kendaraan roda empat di atas 1.400 cc dan roda dua di atas 250 cc.
Adapun, PT Pertamina (Persero) masih menantikan revisi perpres tersebut sebelum memperluas pengaturan pembelian bahan bakar minyak bersubsidi, Pertalite, dari 4 kota yang tengah diujicobakan saat ini.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso sebelumnya mengatakan dalam waktu dekat perusahaan masih belum berencana mengatur pembelian Pertalite maksimal 20 liter atau Rp200 ribu/hari di luar Aceh, Bengkulu, Bangka Belitung, dan Timika.
“Uji coba betul dilakukan di 4 wilayah tersebut, sampai sekarang sistemnya masih uji coba. Untuk saat ini masih di wilayah tersebut sambil nanti melihat evaluasinya bagaimana. Terkait dengan rencana revisi Perpres No. 191/2014, kami masih menunggu dari regulator,” ujarnya.
Mulai Turunkan Sulfur
Selain menggodok revisi Perpres No. 191/2014, pemerintah juga berencana mulai menurunkan tingkat sulfur dalam BBM di Indonesia mulai tahun ini, dimulai dari solar sebelum diperluas ke bensin.
Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Kementerian ESDM Mustika Pertiwi mengatakan penurunan tingkat sulfur bakal dilakukan secara bertahap, di mana penurunan sulfur pada tahap pertama bakal dilakukan untuk minyak Solar cetane number (CN) 53 setara 50 part per million (ppm) di Jabodetabek.
“[BBM di Indonesia akan] menuju [standar] Euro 4 pada 2028, menurunkan sulfur secara bertahap dimulai rencana triwulan III-2024 di Jabodetabek untuk minyak solar CN 53 setara 50 ppm,” ujar Mustika saat dihubungi, baru-baru ini.
Pada tahap selanjutnya, penurunan tingkat sulfur itu juga bakal dilakukan untuk BBM jenis bensin setara research octane number (RON) 95 dan RON 98 pada triwulan I-2025.
Mustika tidak menjelaskan apakah penurunan sulfur tersebut bakal sejalan dengan desas-desus 'konversi' Pertalite yang setara RON 90 menjadi BBM dengan kadar RON tinggi, yang konon dinamai Pertamax Green 92.
Akan tetapi, dirinya memastikan bahwa pemerintah saat ini tengah melakukan revisi terhadap Perpres No. 191/2014. Mustika menambahkan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) merupakan pihak yang memimpin upaya untuk menurunkan tingkat sulfur BBM saat ini.
“Dikoordinasi Kemenko Marves untuk BBM rendah sulfur [..] Sedang dilakukan revisi Perpres 191 Tahun 2014,” ujarnya.
Pada pertengahan September tahun lalu, Kementerian ESDM sempat mengonfirmasi rencana konversi bensin bersubsidi Pertalite menjadi Pertamax Green 92 mulai 2024. Akan tetapi, konversi tersebut baru dilakukan secara terbatas, dengan sejumlah catatan.
Dirjen Migas Tutuka Ariadji saat itu membenarkan konversi Pertalite menjadi Pertamax Green 92 adalah bagian dari program Langit Biru besutan Pertamina, yang dirancang untuk beberapa tahap setelah melakukan serangkaian proses evaluasi.
Program Langit Biru pada dasarnya ditujukan agar perusahaan migas milik negara itu memproduksi BBM dengan RON tinggi agar menghasilkan emisi yang lebih rendah demi menjaga kualitas udara.
“Sebelumnya sudah [meluncurkan] Pertamax Green 95, tetapi kita punya jadwal-jadwal [untuk] Pertamina. Tahap 1A, 1B, tahap 2, dan 3. Kami evaluasi untuk bisa dilaksanakan itu, ya kami lebih mendalami dahulu programnya itu,” ujarnya saat itu.
Dari hasil uji coba peluncuran terbatas Pertamax Green 95 di Jawa Timur, Tutuka menilai parameter yang disasar –seperti penurunan kadar sulfur– telah menunjukkan hasil yang memuaskan.
Atas dasar itu, pemerintah kemudian mempertimbangkan untuk melanjutkan program Langit Biru tahap selanjutnya yang mencakup penaikan RON Pertalite dari 90 menjadi 92, yang konon akan disebut sebagai Pertamax Green 92.
“Ada berbagai macam kan programnya itu, ada Pertamax Green 95, lalu terakhir ada tahap 3 dan 4 itu versi ‘green’ dari Pertalite menjadi Pertamax Green 92. Berapa penurunan kadar sulfurnya, kita akan evaluasi Sox dan Nox-nya. Itu yang kita lihat, tampaknya cukup bagus. Seperti [penaikan bauran biodiesel] B35 ke B40, itu juga cukup turun emisinya,” jelasnya.
Rencana konversi Pertalite menjadi Pertamax Green 92 akan menggunakan bauran bahan bakar nabati (BBN) berbasis tetes tebu atau bioetenol sebesar 7% atau E7. Namun, sampai saat ini riset mengenai emisi yang dihasilkan bahan bakar tersebut masih berlangsung.
Tutuka pun mengatakan kemungkinan Pertalite akan dikonversi menjadi Pertamax Green 92 pada 2024, tetapi dengan sejumlah catatan.
“Ada catatannya, tetapi ini masih rencana ya. Ada yang awal tahun, ada yang tidak. Untuk yang awal [2024], Pertamax Green 95 [dinaikkan dari penggunaan E5] menjadi E8. Kemudian nanti konversi Biosolar ke Dexlite, baru konversi Pertalite ke Pertamax,” ungkapnya.
Solusi Alternatif
Di sisi lain, pada pertengahan Januari, Dewan Energi Nasional (DEN) turut menanggapi desas-desus rencana penghapusan BBM Pertamina jenis Pertalite yang kembali mencuat awal tahun ini. Konon, bensin RON90 seharga Rp10.000/liter itu bakal dikonversi menjadi Pertamax Green 92.
Sekretaris Jenderal DEN Djoko Siswanto mengatakan, dalam mengonversi Pertalite, sebaiknya pemerintah mempertimbangkan untuk melakukannya secara bertahap.
Dengan kata lain, Djoko meminta pemerintah sebaiknya melakukan konversi kepada jenis bensin nonsubsidi terlebih dahulu yang sedianya dikonsumsi oleh masyarakat kelas menengah atas.
"Karena yang green itu kan biasanya lebih bersih lebih ramah lingkungan dan harganya juga lumayan," ujarnya saat dihubungi Bloomberg Technoz.
Dia menilai pemerintah dapat mencontoh implementasi BBM berbahan minyak kelapa sawit atau Bensa (bensin sawit), yang banderol harganya terbilang cukup ekonomis. Bahkan, bensin yang sepenuhnya berasal dari sawit itu berpeluang menggantikan BBM jenis Pertamax Turbo milik Pertamina.
"Misalnya tahap awal Pertamax Turbo diganti dengan Bensa yang harganya Rp15.000/liter, lebih murah dari Pertamax Turbo yang harganya Rp15.350/liter, kualitas Bensa lebih bagus juga karena RON-nya 120," ujar dia.
Setelah itu, kata Djoko, pemerintah baru dapat mengimplementasikan konversi Pertalite menjadi Pertamax Green 92, yang akan menggunakan bauran BBN berasis tetes tebu atau bioetenol sebesar 7% atau E7.
"Dengan demikian, bauran EBT dalam meningkat menuju emisi nol bersih dan tidak membebani APBN. Masyarakat senang membeli BBM kualitas tinggi dan lebih murah."
-- Dengan asistensi Dovana Hasiana dan Sultan Ibnu Affan
(red/wdh)