Oleh karena itu, sanksi juga harus disesuaikan agar konsumen berpikir lebih baik membayar pajak ketimbang terkena sanksi tidak membayar pajak yang lebih mahal dari level pajak itu sendiri.
"Memang kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan rasio pajak, tetapi bukan satu-satunya cara untuk menaikkan tax ratio," ujar Esther.
Cara lain misalnya, dengan mengejar pajak progresif bagi PPN bawang mewah, karena masih ada potensi wajib pajak yang belum membayar pajak. Tak hanya itu, pemerintah juga dapat mengoptimalkan pendapatan pajak penghasilan (PPh) badan.
"Sehingga yang dikejar wajib pajak yang kaya terlebih dahulu," kata Esther.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto mengumumkan kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% akan berlaku pada 2025.
Seperti diketahui, pemerintah telah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% pada April 2022 yang lalu. Sesuai dengan amanat UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tarif tersebut akan dinaikkan secara bertahap sampai dengan 12% di Januari 2025.
“Masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan, pilihannya adalah keberlanjutan. Tentu keberlanjutan program yang dicanangkan pemerintah dilanjutkan termasuk kebijakan PPN,” ujar Airlangga di kantornya, Jumat (8/3/2024).
Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP disebutkan bahwa tarif PPN ditetapkan sebesar 11% yang berlaku pada 1 April 2022. Selain itu, kembali dinaikkan menjadi 12% paling lambat pada 1 Januari 2025.
Selain itu, dalam UU HPP disebutkan juga pemerintah memiliki wewenang untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5% dan maksimal 15%.
Perubahan tersebut dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan kepada DPR dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).
“Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen),” tulis Pasal 7 ayat 3.
(lav)