Bloomberg Technoz, Jakarta - Saat puasa Ramadan, selain menahan lapar dengan tidak makan dan minum, umat muslim juga menahan hawa dan nafsu selama berpuasa.
Oleh sebab itu, mimpi basah saat puasa Ramadan tak jarang membuat pertanyaan. Pasalnya, keluar sperma yang disengaja merupakan salah satu penyebab batalnya puasa.
Melansir laman resmi Sehat Negeriku Kementerian Kesehatan (Kemenkes), mimpi basah merupakan tanda-tanda organ reproduksi menuju kematangan atau biasa disebut tanda-tanda seks primer.
Saat mimpi basah, seseorang mengeluarkan air mani (ejakulasi) tanpa disengaja pada saat tidur dan bermimpi. Lalu, bagaimana jika seseorang mengalami mimpi basah saat berpuasa Ramadan. Berikut ini hukum dan penjelasannya!
Apakah Mimpi Basah Membatalkan Puasa?
Melansir situs resmi Kementerian Agama (Kemenag) Kalteng, orang yang bermimpi basah saat berpuasa, maka puasa yang dijalaninya tetap sah atau tidak membatalkan puasa.
“Karena hal itu terjadi bukan atas kemauannya dan segala sesuatu yang terjadi pada tidurnya dimaafkan,” tulisnya.
Lebih lanjut, air mani yang keluar saat berpuasa memang menjadi salah satu penyebab batalnya puasa, dengan catatan keluarnya air mani tersebut dilakukan secara sengaja seperti berhubungan seks, masturbasi, dan lainnya.
Dikutip dari laman Universitas Islam An Nur Lampung, salah satu hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma, mereka berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapati waktu fajar (waktu Shubuh) dalam keadaan junub karena bersetubuh dengan istrinya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.
Berdasarkan hadits tersebut, dapat dipahami bahwa seseorang yang mengalami mimpi basah saat puasa, maka puasanya tetap sah dan tidak perlu mengqadha atau membayar fidyah. Namun, seseorang itu harus segera mandi wajib atau mandi junub untuk membersihkan diri dari hadas besar, agar bisa melakukan ibadah.
Selain itu, Dirjen Pendidikan Islam Kemenag menjelaskan, substansi puasa Ramadan berarti menahan dan secara syar’i adalah menahan diri dari makan, minum, hubungan suami-istri, serta segala hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
“Dengan demikian, siapa saja – orang mukmin mukallaf – yang sudah memenuhi kriteria tersebut, atau memenuhi syarat dan rukunnya, berarti secara syar’i sudah sah dan terpenuhi kewajibannya,” tulis Dirjen Pendidikan Islam Kemenag pada situs resminya, dikutip Selasa (12/3/2024).
Selain itu, seperti kata Al-Imam Al-Ghazali, terdapat tiga tingkatan puasa bagi seorang muslim, pertama, tingkat puasa awam, yaitu puasa yang dikerjakan sekedar memenuhi syarat dan rukunnya saja.
Kedua, puasa yang dikerjakan di samping memenuhi syarat dan rukunnya juga mampu menahan diri dari perbuatan dosa dan semua bentuk perilaku tercela, seperti berdusta, dengki, kikir, mengumpat, dll.
Ketiga, puasa khawash al-khawash, yakni puasa yang mampu mencegah timbulnya kemauan hati untuk tidak mengingat Allah SWT.
“Puasa tingkat ini adalah puasa hati yang tidak hanya sekadar menahan diri dari hal-hal yang lahiriyah saja, tetapi sudah meningkat pada persoalan batiniyah, ruhani dan nafsani,” tulisnya.
(azr/spt)