Namun, dengan lebih dari 30.000 orang tewas dan Israel berencana menyerang Rafah, tempat para penduduk berlindung, ketegangan antara Netanyahu dan sekutu terpentingnya tersebut terkait jumlah korban sipil menjadi tidak mungkin untuk ditutupi.
Biden terekam kamera sedang berbicara dengan seorang legislator pada Kamis (07/03/2024) bahwa dia merencanakan pertemuan "serius" dengan Netanyahu. Itu terjadi hanya beberapa hari setelah AS menjadi tuan rumah bagi Benny Gantz, anggota kabinet perang Israel tetapi juga saingan politik utama Netanyahu, untuk pertemuan tingkat tinggi di Washington.
Pemimpin Israel tersebut mencium adanya pengkhianatan. "Sejauh Hamas percaya ada perbedaan pendapat di antara kami, itu tidak membantu," kata Netanyahu kepada Fox News pada hari Senin (11/03/2024).
Untuk saat ini, pemerintah Biden tetap memberikan aliran senjata dan dukungan lain kepada Israel, bahkan saat mereka turun tangan untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan ke warga Gaza secara langsung.
Biden (81 tahun) dan Netanyahu (74 tahun) telah berselisih selama beberapa dekade. Namun kali ini, ketegangannya semakin nyata.
AS berpendapat Israel tidak berbuat cukup banyak untuk menghindari kematian dan penderitaan di antara jutaan warga Palestina yang tidak terkait dengan Hamas. Di Gaza utara, pejabat AS mengutip pernyataan WHO, selusin anak-anak mati kelaparan sementara orang tua mereka makan rumput dan menggunakan pakan ternak sebagai tepung.
Biden semakin ditekan untuk mengendalikan sekutunya, baik dari negara-negara lain maupun dari pendukung utama di dalam negeri, di mana para pemilih liberal dan muda menuntut diakhirinya dukungan untuk Israel.
"Ada dua orang yang sangat terampil dan politisi yang sangat sensitif, yang alih-alih mencoba saling membantu, justru mencoba saling menekan," kata Jon Alterman, direktur program Timur Tengah di Center for Strategic and International Studies di Washington.
Kematian sekitar 100 warga Gaza yang mencari bantuan dari konvoi truk bantuan kemanusiaan pada akhir Februari menjadi titik balik, kata para pejabat AS. Pasukan Israel menembaki warga sipil, namun menurut Israel, sebagian besar korban terinjak-injak karena saling berdesakan. Israel menolak anggapan bahwa mereka berbuat semena-mena terhadap warga sipil.
Orang-orang yang dekat dengan Netanyahu berpendapat bahwa kebijakan AS sekarang bertujuan mengurangi dukungan para pemilih Netanyahu, dengan harapan menyebabkan krisis politik di Israel yang mengarah pada pemerintahan lebih moderat tanpa Netanyahu dan mitra koalisi sayap kanannya.
Ini terlihat jelas ketika Biden memberi sanksi kepada pemukim Yahudi ekstremis di Tepi Barat.
Dalam laporan kepada Kongres pada Senin, komunitas intelijen AS mempertanyakan "kelayakan Netanyahu sebagai pemimpin." Mereka memprediksi "protes besar-besaran menuntut pengunduran dirinya dan pemilihan baru" yang mereka katakan dapat mengarah ke pemerintahan yang lebih moderat.
Sementara itu, Netanyahu, perdana menteri terlama di negara itu, memastikan dalam wawancara pada Minggu bahwa dia tidak akan melakukan hal yang tidak diinginkan oleh rakyatnya. Sementara sebuah jajak pendapat baru-baru ini oleh Israel Democracy Institute menemukan 75% warga Yahudi Israel mendukung perluasan operasi militer di Rafah.
Juru bicara Gedung Putih Olivia Dalton mengatakan pada Senin bahwa hubungan Biden yang sudah terjalin selama beberapa dekade dengan Netanyahu memungkinkan presiden AS itu "untuk bersikap terus terang dan jujur saat hal itu diperlukan. Tapi tidak ada perubahan dalam kekuatan hubungan kedua pemimpin."
Netanyahu mengatakan Israel pada akhirnya akan menyerbu Rafah, kota selatan Gaza, tempat sekitar 8.000 anggota Hamas, para pemimpinnya, dan 134 sandera Israel yang tersisa diperkirakan berada di sana.
Biden tidak ingin Israel menyerang Rafah karena takut terlalu banyak warga sipil yang akan terbunuh.
"Pandangan kami adalah tidak boleh ada operasi militer yang terjadi di Rafah jika tidak ada rencana yang kredibel dan dapat diterapkan untuk memastikan keamanan lebih dari satu juta warga sipil yang berlindung di sana," kata Dalton, juru bicara Gedung Putih, pada Senin. "Dan kami tidak melihat adanya rencana seperti itu."
Tetapi ketika Gantz, seorang politikus oposisi populer, bertemu dengan pejabat di Washington pekan lalu, pesannya jelas. Serangan terhadap Rafah pada akhirnya harus dilanjutkan.
Ketegangan tersebut melampaui konflik yang terjadi saat ini. Pemerintahan Biden percaya bahwa sudah saatnya untuk mulai merencanakan masa depan setelah perang. Artinya, ada sebuah pengaturan regional yang melibatkan bantuan dari Arab Saudi dan Uni Emirat Arab bagi negara Palestina untuk mengelola Gaza dan Tepi Barat.
Ini merupakan kutukan bagi Netanyahu yang mengatakan jika sebuah negara Palestina berdiri, itu adalah hasil dari serangan yang dilakukan pada 7 Oktober, yang akan menghasilkan teror. Rakyat Palestina, menurut Netanyahu dan para ajudannya, harus belajar hal sebaliknya. Bahwa kekerasan hanya akan menghasilkan pembalasan yang lebih kejam.
Mereka juga mengatakan hal lain. Semakin Biden mencoba memisahkan publik Israel dari perdana menterinya, justru Netanyahu akan semakin kuat karena para pemilih tidak suka dengan campur tangan semacam itu.
(bbn)