Dengan demikian, tarif PPN menjadi 12% pada 2025 merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Dilansir melalui situs resmi Indonesia.go.id, kenaikan tarif PPN dimaksudkan untuk meningkatkan fondasi perpajakan seraya menambah daya dorong Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sehingga, kemampuan negara meningkat dalam menyediakan bantalan sosial.
Diskusi mengenai kenaikan PPN diklaim telah dilakukan sejak 2021 bersamaan dengan pembahasan RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Setelah disahkan oleh DPR pada 7 Oktober 2021, RUU tersebut diundangkan sebagai UU nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan pada 29 Oktober 2021.
Maka, kenaikan tarif PPN itu kini menjadi amanat undang-undang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengatakan bahwa kenaikan PPN menjadi 11% hingga 12% ini masih berada di bawah rata-rata PPN dunia. Saat ini, kata Sri Mulyani, rata-rata PPN di seluruh dunia berada di level 15%.
Di kalangan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang beranggotakan 35 negara maju, tarif PPN umumnya memang lebih tinggi utamanya di negara-negara Eropa barat. Di Belanda dan Spanyol, misalnya, tarif PPN sampai 21%, dan Inggris serta Prancis 20%. Turki (anggota OECD) yang kondisinya kurang lebihnya sama se-level dengan Indonesia, PPN-nya 18 persen.
Namun untuk kawasan Asean, kenaikan PPN Indonesia lebih mendahului yang lain. Hanya Filipina yang PPN-nya sudah 12%, sementara Malaysia, Kamboja, dan Vietnam masih 10%. Bahkan, Thailand dan Singapura masih bertahan di level 7% dan 8%.
Menurut Sri Mulyani, kawasan Asean terhitung sebagai wilayah ekonomi dengan pajak yang relatif lebih rendah dibanding kawasan lain.
"Kalau kita lihat negara OECD dan yang lain-lain, PPN Indonesia ini ada di 10%. Kita naikkan 11% dan nanti 12% pada 2025," ungkap Sri Mulyani dilansir melalui situs Indonesia.go.id
Ekonomi Indonesia, menurut Sri Mulyani, perlu dibangun di atas fondasi pajak yang kuat, yang tidak terlalu senjang dari tarif dunia. Kenaikan tarif PPN itu akan menambah penerimaan negara dan memperbaiki kondisi fiskal. Dampaknya, kemampuan belanja negara akan meningkat.
Untuk diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya melaporkan, realisasi penerimaan pajak per akhir Januari adalah Rp 149,25 triliun. Angka ini baru 7,5% dari target APBN 2024. Dalam paparannya, PPN dan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) tercatat sebesar Rp 57,76 triliun atau 7,12%.
"PPh (Pajak Penghasilan) non-migas adalah Rp 83,69 triliun atau 7,87% dari target. Kemudian PPh migas Rp 6,99 triliun atau 9,15%, serta PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) dan pajak lainnya Rp 0,81 triliun atau 2,14%," jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Kamis (22/2/2024).
Menurut jenisnya, PPh pasal 21 tercatat Rp 28,3 triliun. PPh 21 adalah pajak yang dibayarkan karyawan.
"Ini mencerminkan peningkatan dari jumlah penyerapan tenaga kerja, perbaikan gaji atau upah cukup menggembirakan," kata Sri Mulyani.
Kemudian PPh Badan terealisasi Rp 18,2 triliun. "PPh Badan masih mengalami tren melemah. Kinerja keuangan perusahaan perlu kita waspadai," tegas Sri Mulyani.
(dov/lav)