Adapun inflasi umum hanya turun tipis 0,1% menjadi 8,5% pada Februari. Inflasi yang masih berkecamuk di kawasan itu terutama karena inflasi harga jasa yang mencapai 4,8% bulan lalu.
Alhasil, ECB tidak memiliki pilihan lain selain melanjutkan pengetatan moneter kendati sektor perbankan, lebih khusus lagi di Swiss yaitu Credit Suisse, tengah goyah akibat masalah permodalan dan telah memicu gejolak besar di pasar keuangan di seluruh dunia.
Proyeksi inflasi akan tetap tinggi dalam waktu yang lama.
European Central Bank
Bank sentral memastikan akan terus memantau ketegangan yang terjadi pasar sepekan belakangan ini akibat isu perbankan (Credit Suisse) dan akan menanggapi seperlunya agar stabilitas harga dan stabilitas keuangan di Zona Euro terjaga.
“Sektor perbankan Eropa tangguh dengan posisi modal dan likuiditas kuat. Perangkat kebijakan ECB siap untuk memberikan dukungan likuiditas ke sistem keuangan EU jika diperlukan dan untuk menjaga kelancaran transmisi kebijakan moneter,” lanjut ECB.
Sepanjang tahun ini, ECB memperkirakan inflasi akan bisa dikerek turun ke kisaran 5,3% dan akan terus melandai ke kisaran 2,9% pada 2024. Inflasi inti diproyeksikan akan terus menurun ke kisaran 4,6% tahun ini dan selanjutnya di kisaran 2,5% pada 2024.
Dilema Fed
ECB tidak sendiri. Federal Reserves, bank sentral AS menghadapi kepelikan yang tak kalah rumit. Kejatuhan tiga bank pekan lalu akibat kerugian investasi di US Treasury, surat utang AS, yang harganya jatuh buntut dari kenaikan bunga acuan secara agresif oleh Fed dalam setahun terakhir. Tiga bank yang kolaps disebut sebagai “korban” langsung dari pengetatan moneter AS paling spartan dalam 40 tahun ini.
Namun, Fed juga tidak punya pilihan lain selain harus melanjutkan kebijakan bunga tinggi agar inflasi di negeri itu bisa dijinakkan. Pada Februari, inflasi AS tercatat 6%, sedikit melandai dari bulan sebelumnya 6,4%. Namun, penurunan inflasi inti negeri itu masih sangat lambat.
Bulan lalu core inflation AS di angka 5,5%, turun tipis 0,1% dari Januari. Fed diperkirakan akan tetap mengerek bunga acuan dalam Federal Meeting Open Committee (FOMC) pekan depan walau diprediksi akan lebih dovish dengan kenaikan 25 bps. Bank Indonesia (BI) memperkirakan bunga puncak acuan Fed tahun ini akan berkisar 5,25% hingga 5,5%.
Pemulihan Ekonomi Butuh Sokongan
Bila bank-bank sentral di kekuatan ekonomi utama dunia tidak memiliki pilihan selain terus melanjutkan pengetatan, cerita berbeda disodorkan negara-negara berkembang.
Bank Indonesia (BI) kemarin memastikan BI7DRR bertahan di level 5,75%. Inflasi diperkirakan melandai lebih cepat dan ada kebutuhan untuk mendorong pemulihan ekonomi pasca pandemi.
“BI mempertahankan statusnya sebagai bank sentral yang stance kebijakan moneternya ditentukan oleh inflasi,” komentar Satria Sambijantoro, Kepala Ekonom Bahana Sekuritas yang melihat BI masih memiliki ruang mengerek bunga 25-75 bps tahun ini.
Inflasi domestik makin melandai ditandai dengan penurunan inflasi inti ke level 3,09%, sudah di kisaran target bank sentral. Sementara inflasi IHK diprediksi akan kembali ke 2%-4% pada separuh kedua tahun ini.
Risiko pelemahan nilai tukar bila bank sentral utama tidak menempuh pivot dan BI7DRR bertahan, sudah akan dihadapi BI dengan berbagai amunisi yang sudah jauh lebih lengkap dibandingkan 2008 lalu, menurut Ekonom Bloomberg Economics Tamara Henderson.
Sikap bertahan BI boleh jadi karena kebutuhan mendorong pemulihan ekonomi tidak bisa ditunda lagi. Ada indikasi perekonomian domestik masih melambat tecermin dari kontraksi impor pada Februari hingga -4% dari kenaikan 1% pada Januari.
“Bank sentral terdorong menjaga pertumbuhan ekonomi supaya tidak terus melambat,” kata Macro Strategist Samuel Sekuritas Lionel Prayadi.
Badan Pusat Statistik melaporkan, impor untuk semua sektor turun secara bulanan, yaitu barang konsumsi (-14,54%), bahan baku (-15,09%) dan barang modal (-6,64%). Ini menjadi catatan tersendiri karena jelang kedatangan Ramadan dan Lebaran, kinerja impor justru turun.
Impor barang konsumsi menjadi salah satu indikasi sejauh mana kemajuan pemulihan tingkat konsumsi masyarakat, motor utama pertumbuhan ekonomi Tanah Air, telah melaju. Kenaikan bunga acuan bisa kontraproduktif dengan kondisi motor pertumbuhan yang sejatinya masih membutuhkan dukungan.
Pivot Vietnam
Langkah yang dilakukan oleh bank sentral Vietnam malah lebih cepat berbalik arah dengan memangkas bunga acuan menjadi 3,5% pada 15 Maret lalu untuk mendorong perekonomian mereka yang mulai melambat terimbas pelemahan permintaan global. Angka produksi industri turun, begitu juga pencairan penanaman modal asing (FDI) dan penurunan permintaan kredit dari sektor bisnis.
“Vietnam memprioritaskan pertumbuhan ketimbang inflasi dengan keputusan memangkas bunga kendati ekspektasi kenaikan bunga Fed masih tinggi, untuk membantu keketatan likuiditas yang dialami sektor real estate dan ekonomi,” komentar Trinh Nguyen, ekonom Natixis SA di Hong Kong seperti dikutip Bloomberg News, Rabu (15/3/2023).
Vietnam juga sudah bersiap bila langkahnya itu akan membuat mata uang mereka tertekan dengan ekspektasi Fed akan terus melanjutkan pengetatan moneter dan bisa melemahkan aset-aset emerging market termasuk dong Vietnam.
BI memperkirakan, Indonesia bisa mencetak pertumbuhan ekonomi di kisaran 4,5%-5,3% tahun ini dengan bias ke atas, terutama disokong oleh pemulihan ekonomi global yang lebih baik dari proyeksi sebelumnya yang diprediksi tumbuh 2,6%, sejalan dengan dampak positif pembukaan ekonomi Tiongkok dan penurunan disrupsi suplai global.
(rui/aji)