Selama ini, menurutnya, langkah yang diambil justru dengan melakukan pencetakan sawah di lahan rawa, padahal menanam di lingkungan rawa hanya akan menghasilkan produktivitas tanaman yang rendah.
Selain itu, dirinya juga turut menyoroti program kebanggaan pemerintah yakni Food Estate atau Lumbung Pangan Nasional. Eliza justru menilai Food Estate adalah program gagal karena tidak memenuhi aspek kelayakan seperti tanah, agroklimatologi, sosial ekonomi, hingga infrastruktur pendukung lainnya.
"Banyak sekali kerugian dari Food Estate, selain merugikan masyarakat lokal yang harus berganti komoditas yang diusahakan juga kita kehilangan penyerapan karbon. Semakin banyak hutan yang dibuka, serapan karbon kita makin rendah," jelasnya.
Pendanaan Pertanian
Tata kelola pangan Indonesia juga menjadi sorotannya yang selanjutnya, terutama dari segi produksi dan harga yang diterima petani. Menurut Eliza, pendanaan untuk sektor pertanian masih belum memadai, terutama dalam infrastruktur dasar seperti irigasi yang seringkali rusak.
Walhasil, produksi menjadi tidak optimal dan ketidakstabilan harga kerap merugikan petani.
"Kementerian Pertanian tidak masuk 10 besar dengan anggaran K/L (Kementerian/Lembaga) padahal kontribusi terhadap ekonominya 3 besar dan paling banyak menyerap tenaga kerja. Anggaran untuk infrastruktur dasar seperti untuk irigasi masih rendah, tidak cukup untuk merevitalisasi irigasi yang sudah rusak secara sistemis. Perlu dana jumbo untuk memperbaiki kerusakan secara sistemik tersebut. Irigasi kunci optimal produksi," tegas Eliza.
"Petani yang memiliki sumber dayanya mendukung, ini semangat untuk ekspansi produksi. Faktor determinan produksi adalah harga berkeadilan dan yang baik ditingkat petani," tuturnya.
Dihubungi secara terpisah, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa juga turut menyoroti fenomena ini dengan kondisi ekspor dan impor yang dilakukan oleh pemerintah.
Dwi lantas membeberkan data bahwa selama 25 tahun terakhir, Indonesia telah melakukan ekspor komoditas pangan, tetapi nilai ekspor tersebut tidak sebanding dengan impor yang terus meningkat.
Selain itu ia membeberkan bahwa pada 2023, nilai impor komoditas pangan mencapai US$18,8 miliar, meningkat drastis dari US$10,1 miliar pada 2013. Sementara itu, defisit neraca perdagangan pada sektor pangan klaimnya juga meroket dari US$8,9 miliar pada 2013, dan menjadi US$16,3 miliar pada 2023.
Belum lama ini, Menteri Pertahanan sekaligus calon presiden Prabowo Subianto menyatakan berencana mengekspor pangan dalam waktu 4 tahun.
Dia meyakini Indonesia akan cepat mencapai kemandirian pangan. Dimana hal ini disampaikannya ketika membahas konteks ekonomi hijau. Menurut dia, RI bisa membuat bahan bakar dengan bahan dasar yang lebih ramah lingkungan.
Setelah itu, ia mengatakan pihaknya yakin Indonesia dapat menjadi negara yang mandiri dari sisi pangan dalam waktu 3 tahun, meskipun tetap terdapat beberapa tantangan.
Lebih lanjut, Prabowo menyebut Indonesia akan menjadi negara yang mampu mengekspor pangan dalam waktu 4 tahun.
(prc/wdh)