Upaya-upaya sebelumnya, termasuk langkah hukum pada 2021, ditolak oleh pengadilan tertinggi negara itu. Namun, desakan agar ada perubahan semakin tinggi karena semakin banyak orang yang sadar dengan kerugian profesional yang dialami kaum perempuan.
Kondisi ini membuat para penuntut dan pengacara mereka semakin yakin.
"Semakin banyak manajer pria mendukung sistem yang mengizinkan pasangan menikah memiliki pilihan," kata Makiko Terahara, pengacara utama langkah hukum ini dan berpengalaman membawa masalah ini ke pengadilan sebanyak dua kali. "Upaya ketiga akan berhasil."
Keindanren, kelompok pelobi bisnis kuat Jepang yang dikenal dengan pandangan koservatif, bulan lalu menyatakan dukungan ketika ketuanya Masakazu Tokura mengatakan, "Secara pribadi, saya pikir kita harus menerapkan sistem nama keluarga berbeda."
Keidanren berencana memberi surat rekomendasi ke pemerintah terkait masalah ini setidaknya di enam bulan pertama tahun ini.
Sistem satu nama keluarga mulai berlaku tahun 1898 ketika Jepang menerapkan hukum yang memformalkan sistem keluarga patriarki.
Secara teknis, seorang suami bisa mengadopsi nama keluarga istri, namun pada praktiknya istri yang mengubah nama keluarganya.
Situasi ini tidak ideal karena sekarang semakin banyak kaum perempuan yang memiliki karier dan kerepotan karena nama untuk keperluan bisnis dan nama resminya berbeda.
Persyaratan nama keluarga ini juga menimbulkan masalah serius lain. Megumi Ueda, salah satu penuntut yang bekerja di sektor pembangunan internasiona, memilih tidak menikah secara hukum untuk mempertahankan identitasnya. Namun, keputusan ini membuat pasangannya tidak memiliki hak hukum pada anak mereka karena Jepang tidak memperbolehkan hak asuh bersama.
Dia mengatakan selalu khawatir penyerahan hak asuh anaknya akan memakan waktu jika dia meninggal.
"Menurut saya perlu ada sistem yang membuat setiap orang lebih bahagia ketika menikah," kata Ueda.
Meski jajak pendapat memperlihatkan dukungan luas dari masyarakat agar hukum ini diubah, partai konservatif yang berkuasa di Jepang sering kali dikutip sebagai penghalang perubahan.
"Masyarakat siap untuk itu," kata Machiko Osawa, ekonom bidang tenaga kerja Universitas Perempuan Jepang. Namun, karena "mempertahankan nilai-nilai keluarga memainkan peran penting" di plaftorm Partai Demokrat Liberal (LDP), dia tidak yakin akan ada perubahan.
LDP pun ternyata sadar dengan peningkatan dukungan untuk mengubah hukum itu dan sudah menyesuaikan posisinya. Pada 2019, pemerintah mengizinkan warga mendaftarkan nama mereka dan nama perkawinan di beberapa dokumen identifikasi.
"Terlihat bahwa upaya politik untuk mendorong penggunaan nama untuk bisnis tidak berhasil," kata Shuhei Ninomiya, guru besar di Universitas Ritsumeikan.
Ueda berpendapat bahsa perubahan hukum itu harus terjadi di generasinya setelah beberapa dekade menunggu.
"Saya mulai tertarik dengan isu ini ketika masih SMP, dan saya berpikir aturan itu akan diubah ketika saya menginjak dewasa," ujarnya. "Saya sekarang berusia 40-an dan belum ada perubahan. Kita tidak bisa mewariskan ini terus ke generasi muda."
(bbn)