“Memang benar, keterlibatan LME dalam pasar nikel selama dua tahun terakhir juga telah mempertimbangkan apakah akan memperkenalkan kontrak perdagangan untuk segmen pasar nikel lainnya seperti nikel sulfat, matte, dan material nikel kelas 2 lainnya," tulis LME.
“Namun, dukungan untuk inisiatif tersebut masih sangat terbatas, lantaran mayoritas pelaku pasar berpandangan bahwa kontrak khusus akan berdampak buruk pada likuiditas dan berpotensi melemahkan kegunaan LME Nickel sebagai alat manajemen risiko utama yang digunakan oleh semua segmen pasar.”
Sebelumnya, orang terkaya di Australia, Andrew Forrest, mendesak LME untuk membedakan klasifikasi antara nikel "kotor" dan "bersih" dalam perdagangan logamnya. Pernyataan tersebut dibuat setelah bisnis logam pribadinya mengumumkan penutupan tambang baru-baru ini.
Begawan pertambangan tersebut mengatakan kepada wartawan di Canberra pada Senin (26/2/2024) bahwa LME harus mengklasifikasikan nikel berdasarkan emisi karbon. Dengan demikian, pelanggan dapat membuat pilihan mengenai produk yang mereka transaksikan.
Forrest menambahkan, beberapa perusahaan menggunakan baterai dari nikel murah yang ditambang di Indonesia, yang dikenal dengan jejak emisi tinggi dan standar lingkungan yang dipertanyakan.
"Anda ingin punya pilihan untuk membeli nikel bersih jika Anda bisa," kata Forrest. "Jadi, LME harus membedakan mana yang kotor dan yang bersih. Keduanya adalah produk yang berbeda, dan memiliki dampak yang sangat berbeda."
Para penambang nikel yang kesulitan di Australia dan negara lain telah mencoba menerapkan premi ramah lingkungan (green premium) untuk nikel rendah karbon menyusul anjloknya harga nikel di LME sebesar 44% tahun lalu, yang didorong oleh peningkatan besar pasokan dari Indonesia.
Pabrik peleburan di negara Asia Tenggara biasanya mengandalkan batu bara untuk menggerakkan pabriknya, sehingga produk mereka menghasilkan jejak karbon yang besar.
Masalah ini sangat sensitif bagi LME karena kontrak nikel utamanya terus mengalami pemulihan yang lambat menyusul tekanan pendek yang belum pernah terjadi sebelumnya pada 2022 yang memaksa bursa tersebut untuk membatalkan perdagangan.
Hal ini menyebabkan banyak pelaku pasar berhenti menggunakan kontrak berjangka, sehingga menyebabkan penurunan likuiditas secara signifikan.
LME mengatakan pihaknya masih akan terus bekerja sama dengan pasar untuk mencari cara mengidentifikasi apa yang dimaksud dengan nikel hijau, di mulai dengan ambang batas 20 ton atau kurang karbon dioksida per ton yang diproduksi.
Belum Diprotes
Di lain sisi, hingga kini, pemerintah mengaku belum menerima protes atau keluhan langsung dari korporasi-korporasi tambang global yang merasa dirugikan akibat banjir nikel murah dari Indonesia, yang berefek domino pada tren penutupan tambang nikel di banyak negara.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Septian Hario Seto mengeklaim, di dalam negeri pun, para penambang nikel juga tidak merasakan kekhawatiran soal isu oversupply seperti yang digaungkan perusahaan lain di luar negeri.
“Enggak sih, so far masih oke. Mungkin yang suffering kan di luar Indonesia ya. Di Indonesia masih oke saya kira,” ujar Seto saat ditemui, Kamis (29/2/2024).
Menampik tudingan soal oversupply nikel murah Indonesia, Seto berpendapat penyebab banyaknya raksasa tambang global –yang merugi hebat gegara krisis harga nikel – lebih dipicu faktor ongkos produksi mereka yang tidak efisien, sebagaimana para penambang di Indonesia.
“Mereka kan cost of production-nya enggak kompetitif. Jadi mereka pikir harga nikelnya bakal menyentuh US$25.000—US$30.000 [per ton] kayak 2 tahun terakhir, tetapi kan ternyata enggak. Komoditas kan selalu ada siklusnya. Jadi ya, mereka seharusnya make sure supaya kompetitif,” tuturnya.
Dia pun mengirim pesan kepada perusahaan tambang yang merasa dirugikan agar tidak serta-merta menyalahkan produksi dari Indonesia. Menurutnya, apa yang terjadi pada harga nikel dunia saat ini tidak lebih dari konsekuensi hukum pasar.
“[Harga komoditas] tergantung dinamika supply and demand. Kalau dengan kondisi demand sekarang, saya enggak melihat harga nikelnya bisa naik cukup signifikan lagi ya. Dia mungkin akan bergerak di range yang begini-begini saja.”
Harga nikel sudah anjlok lebih dari 45% sepanjang tahun lalu, dari level tertingginya di US$33.924/ton pada Maret 2022. Per hari ini, harga nikel di LME diperdagangkan di US$17.759/ton, merosot 1,04% dari hari sebelumnya.
(wdh)