Secara total, luas wilayah lahan yang dicabut izinnya itu mencapai sekitar 3,2 juta hektare (ha) yang tersebar di seluruh Indonesia.
Musabab pencabutan IUP tersebut dikarenakan para pemegang IUP itu tidak pernah menyampaikan rencana kerjanya, padahal izin sudah bertahun-tahun diberikan.
DPR Terima Laporan Pengusaha
Selain itu, Mulyanto mengamini bahwa Komisi VII kerap menerima laporan dari asosiasi pertambangan nikel yang memberikan laporan tentang banyaknya izin usaha tambang yang dicabut tanpa alasan jelas.
“Ya demikian yang menjadi perbincangan secara internal di Komisi VII DPR RI [..] Hal ini tentu memunculkan tanda tanya besar dan kecurigaan,” ujar Mulyanto.
Terlebih, secara kelembagaan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) seharusnya adalah pihak yang lebih memiliki kewenangan untuk memberikan dan mencabut IUP.
Hal ini termaktub dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
Dalam pasal 1 disebutkan Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.
“Jadi terkesan Menteri Investasi cawe-cawe terkait dengan IUP ini. Dengan demikian, investigasi Tempo menjadi bisa dimengerti,” ujarnya.
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) tidak memberikan respons saat dimintai konfirmasi terkait dengan keluhan mereka ke parlemen.
Panggil ESDM dan BKPM
Lebih lanjut, Mulyanto menegaskan Komisi VII bakal melakukan rapat kerja dengan Menteri ESDM Arifin Tasrif dan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia untuk meminta pendalaman dan penjelasan pemerintah atas kasus penyalahgunaan wewenang dalam pencabutan IUP ini.
Menurut Mulyanto, hal ini sesuai dengan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR agar UU yang dibentuk dapat dilaksanakan pemerintah secara konsisten supaya maksud dan tujuan pembentukan UU tercapai.
“Kita ingin pemerintah menjalankan good governance, sehingga pemerintahan yang baik, bersih dan bebas korupsi dapat diwujudkan dalam rangka efisiensi pembangunan untuk kesejahteraan rakyat,” pungkasnya.
Secara terpisah, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto membenarkan rencana pemanggilan Bahlil dilakukan terkait dugaan penyelewengan wewenang. Dalam kaitan itu, Bahlil bakal dipanggil dalam kapasitas sebagai Ketua Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.
Sebab, Sugeng mengatakan, Bahlil diduga menyalahgunakan wewenang sebagai ketua satgas dalam mengevaluasi IUP serta hak guna usaha (HGU) lahan sawit beberapa perusahaan.
“Kami sudah dengar berbagai dugaan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Ada yang meminta kalau mau menghidupkan kembali IUP serta HGU lahan sawit harus bayar sekian dan ada yang minta saham katanya. Ya Kami akan segera panggil Pak Bahlil," ungkap Sugeng kepada dalam keterangan resmi di situs DPR, Selasa (5/3/2024).
Namun, Komisi VII belum bisa memastikan waktu pemanggilan Bahlil karena masih dalam proses. Terlebih, DPR sendiri baru memasuki masa persidangan.
Di sisi lain, politisi dari fraksi Partai Nasdem ini menilai pembentukan Satgas tersebut pun mencederai tata kelola pemerintahan. Tugas pokok dan fungsinya dalam mengevaluasi IUP milik perusahaan melampaui tugas milik tiga kementerian.
"Kami sudah sejak awal tidak setuju yang namanya satgas. Kami kembalikan kepada ini semula," tegasnya.
Nama Bahlil tengah ramai diperbincangkan usai sebelumnya diduga melakukan permainan izin tambang. Hal ini sebagaimana dilaporkan pada siniar Bocor Alus Politik (BAP) yang ditayangkan pada YouTube tempo.co dan pemberitaan Majalah Tempo.
Hingga berita ini diturunkan, Bahlil tidak memberikan respons atas permintaan konfirmasi. Namun, melalui Staf Khusus Menteri Investasi/Kepala BKPM Tina Talisa, dia mengadukan media yang bersangkutan ke Dewan Pers.
Bahlil dalam siaran pers yang dilansir BKPM pada Senin (4/3/2024) belum memberikan bukti atau data untuk mengklarifikasi dugaan yang dilayangkan kepadanya.
“Pak Menteri Bahlil keberatan karena sebagian informasi yang disampaikan ke publik mengarah kepada tudingan dan fitnah, juga sarat dengan informasi yang tidak terverifikasi. Kami meyakini ada unsur pelanggaran Kode Etik Jurnalistik, di antaranya terkait kewajiban wartawan untuk selalu menguji informasi dan tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi,” ujar Tina dalam siaran pers tersebut.
-- Dengan asistensi Dovana Hasiana
(red/wdh)