Pernyataan itu memperlihatkan konsistensi pernyataan para pejabat The Fed selama beberapa waktu terakhir. Bahwa perekonomian AS dan pasar tenaga kerja masih kuat sehingga pembuat kebijakan masih harus menunggu bukti lebih banyak bahwa inflasi memang sudah di jalur sasaran sebelum bunga akhirnya perlu diturunkan.
Kemarin Amerika juga melaporkan data rekrutmen tenaga kerja sektor swasta, ADP Employment, yang masih kuat namun angkanya lebih kecil ketimbang perkiraan pasar. Pada saat yang sama, pembukaan lapangan kerja, JOLTS Job Openings, pada Januari tercatat sedikit lebih tinggi ketimbang prediksi pasar.
Sementara dari dalam negeri, pelaku pasar menanti rilis data cadangan devisa RI pada Februari yang diprediksi turun karena banyak terpakai untuk mengintervensi tekanan pada rupiah baik di pasar valas maupun pasar surat utang. Cadangan devisa RI pada Februari diprediksi turun ke kisaran US$142 miliar hingga US$144 miliar, tipis dari posisi Januari sebesar US$145,1 miliar, menurut perkiraan Mega Capital Sekuritas.
Selama Februari, nilai rupiah cenderung tertekan dengan bergerak rata-rata di kisaran Rp15.657/US$, lebih lemah dibanding kisaran pergerakan Januari di rentang Rp15.612/US$. Rupiah sempat terperosok ke level terlemah ke posisi Rp15.765/US$ pada awal bulan lalu. Menghitung posisi sejak awal tahun, nilai rupiah sudah melemah 2% sampai akhir Februari.
Sedangkan pasar surat utang juga masih terbebani arus keluar modal asing sejak awal tahun. Berdasarkan data transaksi sampai akhir Februari, investor asing masih mencatat posisi net sell (jual bersih) di Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp4,93 triliun, menurut publikasi Bank Indonesia.
Bank Indonesia telah banyak memborong surat utang selama bulan lalu untuk menstabilkan tekanan imbal hasil yang mengerosi nilai rupiah. Itu terlihat dari posisi kepemilikan SBN oleh Bank Indonesia yang bertambah hingga Rp132 triliun selama Februari, mencapai Rp1.200,14 triliun (nett).
(rui)