Cikal bakal satgas tersebut adalah Keputusan Presiden No. 11/2021 tentang Satuan Tugas Percepatan Investasi. Dalam keppres tersebut tertulis bahwa satgas yang dimaksud diketuai oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM, dengan wakil ketua Wakil I Jaksa Agung, Wakil Ketua II Wakil Kepala Polri, serta Sekretaris Sdri. Dini Purwono.
Namun, Jamil tidak melihat adanya dasar hukum berupa Peraturan Presiden (Perpres) atau Undang-Undang yang mengatur peralihan pencabutan IUP dari Menteri ESDM ke Menteri Investasi/Kepala BKPM.
Jamil menggarisbawahi terdapat Peraturan Presiden Nomor 70/2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi sebagai landasan hukum pembentukan Satgas, tetapi perpres itu belum mengatur perpindahan kewenangan.
“Kenapa bisa cacat kewenangan? Karena pengalihan kewenangan dari Menteri ESDM [Arifin Tasrif] ke Bahlil untuk mencabut izin hanya melalui Keputusan Menteri ESDM, padahal seharusnya di UU administrasi pemerintahan, pengalihan kewenangan yang didasari UU harus [berupa] Perpres atau UU,” ujarnya.
“Di situ sebenarnya celahnya, sejatinya [Menteri] Investasi tidak punya kewenangan cabut izin tambang karena mencabut izin tambang dan menerbitkan izin itu sejatinya adalah kewenangan di Menteri ESDM kalau kita lihat di UU Minerba Pasal 119."
Cacat Prosedur
Jamil melanjutkan, pencabutan IUP juga cacat dari segi prosedur. Berdasarkan Pasal 185 ayat 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 dijelaskan bahwa pemegang IUP untuk penjualan yang melanggar ketentuan bakal dikenakan sanksi administratif secara bertahap dan tidak serta-merta langsung dicabut IUP-nya.
Sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi dan/atau pencabutan IUP.
Kecacatan secara kewenangan dan prosedur itu pada akhirnya dimanfaatkan sebagai celah hukum yang bisa dimanfaatkan oleh Bahlil dan perusahaan.
Dalam kaitan itu, beberapa perusahaan memang telah melayangkan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), tetapi prosesnya tentu panjang. Walhasil, hal itu memicu potensi terjadi transaksi untuk mengaktifkan IUP kembali melalui lobi langsung kepada Bahlil.
“Ketika Bahlil menerbitkan surat keputusan (SK) pencabutan, dia juga berwenang mencabut SK pencabutan atau menerbitkan SK baru untuk mengaktifkan kembali. Di situ arenanya, sangat mungkin bisa terjadi transaksi,” ujarnya.
Tindak Lanjut
Jamil mengatakan Jokowi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan bisa mendorong aparat penegak hukum (APH) untuk menindaklanjuti dugaan yang ada.
APH sebenarnya memiliki kapasitas untuk langsung menindaklanjuti dugaan tersebut, tetapi dorongan dari Jokowi diperlukan secara etik kenegaraan. Apalagi, Jokowi merupakan pihak yang menunjuk Bahlil sebagai ketua satgas tersebut.
“Di Indonesia ada anekdot bahwa mereka yang masih berkuasa itu sulit dihukum atau mereka yang masih berkuasa tidak akan didakwa, Bahlil memiliki posisi penting sebagai Menteri Investasi/Kepala BKPM, sehingga ini butuh cukup keberanian apalagi dugaan di atas 1 miliar,” ujarnya.
“Penegak hukum saya kira butuh dorongan, oleh karena Bahlil menggunakan celah hukum di balik perpres kewenangan yang diberikan Presiden Jokowi saya kira Presiden penting untuk bersuara."
Nama Bahlil Lahadalia belakangan tengah menjadi sorotan publik lantaran dia disebut-sebut melakukan penyalahgunaan wewenang dalam mencabut dan mereaktivasi IUP serta hak guna usaha (HGU) lahan sawit di beberapa daerah.
Menurut laporan Tempo, Bahlil diduga meminta sejumlah imbalan uang hingga miliaran rupiah dalam menjalankan tugasnya sebagai pimpinan satgas tersebut. Dia juga dikabarkan meminta porsi saham dari perusahaan-perusahaan yang dicabut dan dipulihkan lagi IUP atau HGU-nya.
Sekadar catatan, pembentukan satgas tersebut mengacu pada Peraturan Presiden No. 70/2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi.
Sepanjang 2022, menurut catatan Bloomberg Technoz, pemerintah melalui Kementerian Investasi/BKPM setidaknya telah mencabut 2.078 IUP, yang terdiri dari 1.776 IUP perusahaan tambang mineral dan 302 IUP perusahaan tambang batu bara.
Secara total, luas wilayah lahan yang dicabut izinnya itu mencapai sekitar 3,2 juta hektare (ha) yang tersebar di seluruh Indonesia.
Musabab pencabutan IUP tersebut dikarenakan para pemegang IUP itu tidak pernah menyampaikan rencana kerjanya, padahal izin sudah bertahun-tahun diberikan.
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto pernah menyebut bahwa Parlemen mendapat keluhan dari pengusaha tambang terkait dengan dugaan pencabutan IUP oleh Kementerian Investasi/BKPM yang menyalahi kewenangan dalam UU Minerba.
"Pencabutan IUP tanpa melalui proses dan mekanisme yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan akan berdampak pada tidak adanya jaminan kepastian hukum bagi investasi sektor pertambangan yang telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dan negara juga berpotensi kehilangan penerimaan di sektor pertambanga,” ujarnya, dikutip dari laman resmi DPR.
Dia pun menegaskan pencabutan usaha pertambangan harus dilakukan secara transparan dan melalui mekanisme atau proses yang sesuai dengan ketentuan Pasal 119 UU Minerba.
Beleid itu menyatakan izin dapat dicabut oleh menteri, dengan ketentuan di antaranya apabila pemegang IUP atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain.
Selain itu bisa juga karena pemegang IUP atau IUPK itu melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, atau juga pemegang IUP dan IUPK dinyatakan pailit.
"Sedangkan proses pencabutan suatu IUP berdasarkan Pasal 185 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 96/2001 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba diawali dengan penerapan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi, dan pencabutan," jelas Sugeng.
Hingga berita ini diturunkan, Bahlil belum merespons permintaan tanggapan dan konfirmasi dari Bloomberg Technoz.
Namun, sebelumnya, Bahlil melalui Staf Khusus Menteri Investasi/Kepala BKPM Tina Talisa mengadukan Tempo ke Dewan Pers atas laporan dugaan penyalahgunaan wewenang terhadap izin tambang itu.
“Pak Menteri Bahlil keberatan karena sebagian informasi yang disampaikan ke publik mengarah kepada tudingan dan fitnah, juga sarat dengan informasi yang tidak terverifikasi. Kami meyakini ada unsur pelanggaran Kode Etik Jurnalistik, di antaranya terkait kewajiban wartawan untuk selalu menguji informasi dan tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi,” ujar Tina dalam siaran pers tersebut.
(dov/wdh)