Indonesia memang membutuhkan pertumbuhan ekonomi lebih dari 5% supaya bisa keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap) dan masuk ke jajaran negara berpendapatan menengah atas (upper middle income country) pada 2045. Akan tetapi, apabila resep lama 10 tahun terakhir dilanjutkan di mana itu sudah terbukti gagal bila menilik pertumbuhan ekonomi 10 tahun ini justru di bawah 5%, menjadi sulit melihat ambisi pertumbuhan 8% Prabowo itu akan tercapai.
Agar bisa menjadi negara maju, Indonesia harus bisa melipatgandakan ekonomi supaya dapat membawa pendapatan per kapita di atas US$ 13.845. Pertumbuhan ekonomi 7% per tahun dibutuhkan dalam dua dekade ke depan apabila negara ini ingin mencetak pendapatan per kapita sebesar US$ 30.300.
Sementara pada 2023, pendapatan per kapita RI baru sebesar US$ 4.919,7. Itu sudah masuk kelompok negara berpendapatan menengah atas akan tetapi masih jauh dari kualifikasi negara berpendapatan tinggi.
Angka pertumbuhan ekonomi tinggi, yakni 7% juga pernah dijanjikan Jokowi ketika berkampanye menjadi presiden pada 2014 silam. Namun, janji itu dipastikan gagal dipenuhi Jokowi dalam 10 tahun berkuasa. Dengan pertumbuhan ekonomi pada 2024 diprediksi di kisaran 5%, maka selama satu dekade memerintah, pertumbuhan ekonomi era Jokowi rata-rata hanya di kisaran 4,78% per tahun.
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menyebut, untuk bisa membawa perekonomian domestik tumbuh 6%-7% per tahun, Indonesia membutuhkan nilai investasi 41%-48% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Sementara saat ini, rasio tabungan domestik, termasuk nilai investasi masyarakat di aset-aset pasar keuangan, baru di kisaran 37% terhadap PDB. Hal itu mengindikasikan Indonesia masih kekurangan dana untuk membiayai investasi yang dibutuhkan agar perekonomian tumbuh lebih cepat.
"Jadi sebagai solusinya, siapapun nanti yang menjadi presiden, ia perlu menaikkan porsi tabungan tersebut. Itu berarti dengan menaikkan rasio pajak terhadap PDB, Indonesia perlu membuka lebih banyak investasi dari luar negeri dan meningkatkan produktivitas," jelas Chatib dalam pernyataan sebelumnya.
Studi yang pernah dilakukan oleh LPEM Universitas Indonesia, menilai, tanpa terobosan kebijakan yang jelas, termasuk di antaranya mendorong kelas menengah yang kuat sebagai motor pertumbuhan ekonomi jangka panjang, akan sulit bagi Indonesia merealisasikan ambisi 2045 itu.
Dua dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi RI tidak pernah beranjak jauh dari 5%. Sedangkan pertumbuhan kredit juga tidak pernah melampaui 15%, ditambah partisipasi kerja perempuan juga masih tertahan di 54%. Sementara rasio pajak terhadap PDB juga masih di bawah 11%. Bahkan di era Jokowi, rasio pajak melorot di angka 9,9%. "Kontribusi industri juga terus menurun dan hanya sekitar 18% dari PDB dan kemiskinan ekstrem persisten di tingkat 1,7%," imbuh Chaikal Nuryakin, Kepala LPEM FEB UI.
Kajian yang pernah dilakukan oleh LPEM UI, mencatat, sebuah negara membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang stabil, resilien dan berkelanjutan agar bisa naik kelas menjadi negara berpendapatan atas.
Untuk dapat kesana, dibutuhkan kualitas sumber daya manusia yang baik, stabilitas sosial politik, institusi inklusif dan faktor sosial budaya yang mendukung. Kesemua itu menjadi syarat perlu (necessary condition).
Sementara syarat cukup yang dibutuhkan agar menjadi negara upper middle income, di antaranya adalah inovasi teknologi, infrastruktur yang baik, perdagangan internasional yang aktif dan kebijakan ekonomi efektif dan prudent. Di mana posisi Indonesia saat ini?
Kondisi Indonesia pada pada 2022 dengan pendapatan per kapita US$ 4.580 adalah setara dengan Korea Selatan pada 1988, Malaysia pada 2004, Brasil pada 2006 dan China serta Thailand pada 2010. "Dalam waktu 18 tahun, Malaysia belum mampu keluar dari middle income trap, sedang Thailand selama 12 tahun juga belum mampu menggandakan pendapatan," tulis Teguh Dartanto dan Canyon K. Can, peneliti LPEM UI.
Malaysia kini mengejar target menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2030. Hanya China yang dinilai mampu keluar dari middle income trap dalam waktu 13 tahun.
Kondisi Indonesia saat ini masih jauh bila dibandingkan negara-negara itu. Pertumbuhan ekonomi Korea Selatan misalnya mencapai 12%, lalu China 10,6%, Malaysia 6,8% dan Thailand 7,5%. Angkanya jauh di atas Indonesia yang bahkan 10 tahun ini hanya 4,23% per tahun.
"Kemajuan ekonomi negara-negara tersebut kecuali Brasil ditopang oleh sektor manufaktur dimana kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB sebesar 28% di Korea Selatan, 30% di Malaysia, dan 32% di China. Rasio ekspor negara-negara itu juga tinggi," jelas peneliti.
Enrico Tanuwidjaja, Ekonom UOB, dalam acara Bloomberg Technoz Economic Outlook 2024 awal Februari lalu, menilai, Indonesia sulit meraih pertumbuhan ekonomi 7% tanpa pendalaman pasar keuangan. Saat ini, pasar keuangan Tanah Air masih terlalu dangkal, banyak aset yang belum terhubung ke sektor riil.
"Bagaimana mau tumbuh 7% kalau leverage, in positive way, terbatas? Financial sector Indonesia hanya 77% dari PDB (Produk Domestik Bruto), di Malaysia sudah 200% lebih," kata Enrico.
Sementara Purbaya Yudhi Sadewa, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan, yang sebelumnya berkarir lama menjadi ekonomi di Danareksa, menilai, perlu ada perubahan paradigma di pemerintahan dalam merumuskan kebijakan yang tepat agar peran swasta dan perbankan bisa lebih didorong lagi dan membantu pertumbuhan di atas 5%. Selain itu, pola belanja pemerintah seharusnya bisa lebih produktif.
Menurut Purbaya, selama ini terlihat ada keganjilan dalam belanja pemerintah. Pasalnya, dengan belanja infrastruktur yang besar, nyatanya di akhir tahun masih ada uang yang tidak dibelanjakan sekitar Rp500-700 triliun.
Besar kemungkinan masih besarnya dana 'menganggur' itu karena faktor birokrasi. “Bila hal ini diperbaiki maka ekonomi tumbuh 6-7% itu gampang,” kata Purbaya.
(rui/aji)