Menanggapi laporan tersebut, Menteri Luar Negeri Israel Israel Katz memanggil duta besarnya untuk PBB, Gilad Erdan, guna melakukan konsultasi mengenai mengapa temuan tersebut tidak segera mendapat tindakan dari Dewan Keamanan PBB.
"Meskipun wewenang diberikan kepadanya, Sekretaris Jenderal PBB tidak memerintahkan diadakannya Dewan Keamanan berdasarkan temuan tersebut, untuk mengatakan Hamas sebagai organisasi teroris dan menjatuhkan sanksi pada pendukungnya," kata Katz melalui X, platform yang sbeelumnya dikenal sebagai Twitter.
Di sisi lain, perundingan gencatan senjata dengan imbalan pembebasan sejumlah sandera menemui jalan buntu. Hal ini mengurangi harapan akan tercapainya kesepakatan dalam waktu dekat.
Perang meletus setelah Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober dan menewaskan sekitar 1.200 orang. Israel pun melakukan serangan balasan, dan hingga kini sebanyak lebih dari 30.000 penduduk di Jalur Gaza tewas akibat serangan udara dan darat.
Patten dan tim ahli teknisnya berkunjung ke Israel dan Tepi Barat selama dua pekan, mulai 29 Januari lalu. Misi PBB tidak meminta untuk mengunjungi Jalur Gaza, tempat sejumlah entitas PBB lain beroperasi. Namun, mereka menerima informasi yang mengatakan adanya kekerasan seksual terhadap warga Palestina yang ditangkap oleh Israel "di tempat penahanan, selama penggerebekan rumah dan di pos pemeriksaan. Dikatakan bahwa pihaknya belum memverifikasi klaim tersebut.
Sementara itu, sebuah laporan terpisah dari Association of Rape Crisis Centers di Israel menemukan bulan lalu bahwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh Hamas bersifat sistematis dan disengaja, bukan sebuah "malfungsi" atau insiden yang terisolasi.
Praktik Hamas "dirancang untuk menghancurkan dan menimbulkan teror sadis," tulis penulis Carmit Klar-Chalamish dalam laporan tersebut. "Cara penyerangan ini dilakukan bertujuan untuk memperkuat dampaknya terhadap korban dan komunitas mereka."
(bbn)