Kondisi ini makin diperburuk dengan kondisi pemberian IUP yang dinilai tersentralisasi kepada pemerintah pusat. Dalam kaitan itu, Bhima berpendapat telah terjadi ketidakseimbangan antara kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat dan daerah.
Imbas UU Ciptaker
Peran pemerintah daerah dalam pemberian IUP makin tergerus dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang saat ini termaktub dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Semestinya, kata Bhima, pemerintah daerah merupakan otoritas yang mengetahui dengan lengkap ihwal batas wilayah dan kondisi pada daerah tersebut.
Sejak kebijakan perizinan banyak ditarik ke pusat setelah UU Ciptaker, kewenangan pemda dalam melakukan pemantauan izin pertambangan menjadi sangat terbatas.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira
Hal ini pada akhirnya disebut menimbulkan kekhawatiran korupsi suap untuk perizinan tambang menjadi masif pada level pemerintahan pusat.
“Sejak kebijakan perizinan banyak ditarik ke pusat setelah UU Ciptaker, kewenangan pemda dalam melakukan pemantauan izin pertambangan menjadi sangat terbatas, bahkan bisa dikatakan tidak terlibat dalam penentuan izin,” ujarnya.
“Jadi ketika banyak izin dicabut, kemudian izin diberikan, itu kewenangan tersentralisasi di pemerintah pusat dan ini menimbulkan kekhawatiran korupsi suap untuk perizinan tambang masif terjadi di level pemerintahan pusat,”
Dengan demikian, Bhima mendorong adanya perbaikan dari sisi transparansi dan keterlibatan Pemda dalam pemberian IUP.
Pendataan Tak Akuntabel
Kedua, Bhima juga mendorong adanya transparansi data IUP, sebab, selama ini pendataan IUP yang ada dinilai belum akuntabel dan valid di beberapa daerah karena IUP justru berada di kawasan hutan adat atau di kawasan yang dekat dengan hunian masyarakat.
Ketiga, dia juga menggarisbawahi persoalan korupsi dalam IUP memiliki pola yang sama sejak dulu hingga saat ini, tetapi tidak ada pembenahan yang serius.
Permasalahan tata kelola tambang juga menjadi makin kompleks dengan menjamurnya tambang-tambang ilegal yang merugikan negara dari sisi hilangnya potensi devisa ekspor.
“[Tambang] yang ilegal bermasalah, yang sudah punya IUP kemudian dicabut dan diberikan IUP dengan suap menyuap itu juga jadi permasalahan sendiri,” pungkasnya.
Nama Bahlil Lahadalia belakangan tengah menjadi sorotan publik lantaran dia disebut-sebut melakukan penyalahgunaan wewenang dalam mencabut dan mereaktivasi IUP serta hak guna usaha (HGU) lahan sawit di beberapa daerah.
Menurut laporan Tempo, Bahlil diduga meminta sejumlah imbalan uang hingga miliaran rupiah dalam menjalankan tugasnya sebagai pimpinan satgas tersebut. Dia juga dikabarkan meminta porsi saham dari perusahaan-perusahaan yang dicabut dan dipulihkan lagi IUP atau HGU-nya.
Sekadar catatan, pembentukan satgas tersebut mengacu pada Peraturan Presiden No. 70/2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi.
Sepanjang 2022, menurut catatan Bloomberg Technoz, pemerintah melalui Kementerian Investasi/BKPM setidaknya telah mencabut 2.078 IUP, yang terdiri dari 1.776 IUP perusahaan tambang mineral dan 302 IUP perusahaan tambang batu bara.
Secara total, luas wilayah lahan yang dicabut izinnya itu mencapai sekitar 3,2 juta hektare (ha) yang tersebar di seluruh Indonesia.
Musabab pencabutan IUP tersebut dikarenakan para pemegang IUP itu tidak pernah menyampaikan rencana kerjanya, padahal izin sudah bertahun-tahun diberikan.
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto pernah menyebut bahwa Parlemen mendapat keluhan dari pengusaha tambang terkait dengan dugaan pencabutan IUP oleh Kementerian Investasi/BKPM yang menyalahi kewenangan dalam Undang-undang No. 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
"Pencabutan IUP tanpa melalui proses dan mekanisme yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan akan berdampak pada tidak adanya jaminan kepastian hukum bagi investasi sektor pertambangan yang telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dan negara juga berpotensi kehilangan penerimaan di sektor pertambanga,” ujarnya, dikutip dari laman resmi DPR.
Dia pun menegaskan pencabutan usaha pertambangan harus dilakukan secara transparan dan melalui mekanisme atau proses yang sesuai dengan ketentuan Pasal 119 UU Minerba.
Beleid itu menyatakan izin dapat dicabut oleh menteri, dengan ketentuan di antaranya apabila pemegang IUP atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain.
Selain itu bisa juga karena pemegang IUP atau IUPK itu melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, atau juga pemegang IUP dan IUPK dinyatakan pailit.
"Sedangkan proses pencabutan suatu IUP berdasarkan Pasal 185 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 96/2001 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba diawali dengan penerapan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi, dan pencabutan," jelas Sugeng.
Hingga berita ini diturunkan, Bahlil belum merespons permintaan tanggapan dan konfirmasi dari Bloomberg Technoz.
Namun, sebelumnya, Bahlil melalui Staf Khusus Menteri Investasi/Kepala BKPM Tina Talisa mengadukan Tempo ke Dewan Pers atas laporan dugaan penyalahgunaan wewenang terhadap izin tambang itu.
“Pak Menteri Bahlil keberatan karena sebagian informasi yang disampaikan ke publik mengarah kepada tudingan dan fitnah, juga sarat dengan informasi yang tidak terverifikasi. Kami meyakini ada unsur pelanggaran Kode Etik Jurnalistik, di antaranya terkait kewajiban wartawan untuk selalu menguji informasi dan tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi,” ujar Tina dalam siaran pers tersebut.
-- Dengan asistensi Dovana Hasiana
(wdh)