Bila membandingkan prospek pasar surat berharga ke depan, SR020 cukup menarik sebagai investasi jangka pendek dan menengah terutama bagi investor yang mengincar pendapatan tetap stabil. Tingkat imbal hasil yang ditawarkan mungkin masih kalah oleh tingkat bunga deposito bank-bank digital yang bahkan mengiming-imingi hingga 8% per tahun. Akan tetapi, dari segi risiko, SR020 relatif lebih kecil mengingat penerbitnya adalah pemerintah RI. Selama negara tidak bangkrut, risiko default terbilang rendah.
Selain itu, dengan peluang penurunan bunga ke depan, ada potensi kenaikan harga obligasi di pasar sekunder. Sukuk ritel bisa dilepas atau dijual ke pasar sekunder ketika telah melewati masa investasi minimal.
Dus, apabila seorang investor melepas unitnya ke pasar ketika harganya tengah naik, maka ia berpeluang mengantongi keuntungan dari kenaikan harga, selain pendapatan dari kupon tetap. Dengan kata lain, ada peluang keuntungan ganda bagi investor di instrumen ini menilik prospek pasar obligasi ke depan.
Instrumen pendapatan tetap cocok bagi investor berprofil risiko konservatif yang tidak mau mengambil risiko besar dan berpuas diri mendapatkan cuan di kisaran rendah. Bila membandingkan cuan SR020 dengan rata-rata bunga deposito bank umum (counter rate) saat ini yang hanya 4,62% untuk tenor 1 bulan, imbal hasil sukuk ritel terbaru itu lebih tinggi.
Begitu juga bila membandingkannya dengan rata-rata return reksa dana pendapatan tetap yang saat ini cuma 4,67%, tecermin dari Infovesta Fixed Income Index 1 tahun yang hanya tumbuh di angka itu.
Namun, bila diadu dengan tawaran keuntungan dari penempatan dana di bank rakyat (BPR), penawaran kupon sukuk ritel itu kalah pamor. Beberapa BPR saat ini masih banyak yang menawarkan imbalan hingga 7% per tahun. Tentu dengan risiko yang sepadan. Bunga penjaminan BPR saat ini masih di angka 6,25% sehingga bila ada BPR menawarkan return di atas itu, maka dana tersebut tidak mendapatkan penjaminan LPS bila terjadi sesuatu.
Potensi kenaikan harga
SBN ritel seperti SR020 dilepas di harga par atau 100. Bila seorang investor menjualnya ketika harga unit tersebut melampaui par, misalnya di 101 atau 102, maka ia bisa mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga jual (capital gain). Demikian juga sebaliknya, bila unit tersebut dijual saat harganya turun di bawah par, misalnya di 98 atau 97, maka ia menanggung kerugian harga jual (capital loss).
Melihat prospek pasar surat utang ke depan, ketika peluang penurunan bunga acuan global mempengaruhi arah bunga acuan domestik, BI rate, potensi kenaikan harga obligasi itu terbuka lebar. Ini membuat tawaran jadi semakin SR020 cukup menarik.
Sebagai contoh, apabila seseorang berinvestasi Rp100 juta di SR020-T3, maka setiap bulan ia mendapatkan pendapatan tetap Rp525.0000 selama memegang unit tersebut. Ketika sebelum jatuh tempo, ia menjualnya ke pasar sekunder kala harga naik di atas par, misalnya di 102, maka ia berpeluang mengantongi capital gain sebesar Rp2 juta.
Bila diasumsikan ia memegang unit tersebut selama 10 bulan dan menjualnya di harga 102, maka total keuntungan yang dikantongi oleh investor mencapai Rp7,25 juta. Dipotong pajak bunga obligasi 10%, maka pendapatan bersih investor dari investasi Rp100 juta di SR020-T3 selama 10 bulan mencapai Rp6,525 juta.
Sebaliknya, bila investor menjualnya ketika harga di pasar turun, maka ia harus menanggung kerugian nilai pokok yang dia investasikan. Dengan asumsi serupa di atas tapi dijual ketika harga unit turun jadi 98, maka nilai pokok investasi yang ia dapatkan kembali berkurang Rp2 juta menjadi Rp98 juta. Sementara pendapatan kupon masih ia dapatkan selama memegang unit tersebut.
(rui)