Beberapa fund manager kelas kakap dunia menilai, tingkat bunga acuan Indonesia saat ini terbilang cukup tinggi ketika disesuaikan dengan tingkat inflasi.
Itu membuat peluang bagi Bank Indonesia untuk melonggarkan moneter melalui penurunan BI rate, lebih besar begitu Federal Reserve (The Fed) memulai penurunan bunga acuan yang diperkirakan akan terjadi pada paruh kedua tahun ini.
Beberapa pengelola dana besar seperti Ashmore Group Plc dan Fidelity International menilai obligasi Indonesia terlalu menarik untuk tidak dilirik menjadi pilihan dalam portofolio investasi mereka.
Ashmore menilai, dengan tingkat bunga acuan disesuaikan dengan inflasi (adjusted policy rate) Indonesia saat ini ada di 3,25%, menjadi yang tertinggi di Asia setelah Filipina dan Thailand, BI memiliki ruang yang memadai untuk memangkas bunga acuan demi mendorong pertumbuhan ekonomi.
Akan tetapi, untuk saat ini, pamor SUN mungkin masih kalah oleh surat utang dari emerging market kawasan Amerika Latin karena selisih yield-nya dengan Treasury, surat utang AS, lebih menarik. Beberapa negara kawasan Amerika Latin juga banyak yang sudah mulai menurunkan bunga acuan saat ini tanpa menunggu The Fed.
"Minat asing tidak terlalu besar karena surat utang dari Brazil, Meksiko dan Eropa Timur memberikan imbal hasil lebih menarik ditambah prospek kebijakan ke depan," kata Philip McNicholas, Strategist di Robeco Group di Singapura.
Sebagai perbandingan, yield SUN 10 tahun saat ini berselisih 240 bps, masih lebih sempit dibanding yield spread obligasi milik India yang mencapai 285 bps. Sementara yield spread Meksiko mencapai 496 bps, Kolombia mencapai 576 bps, sedang Peru juga selisih imbal hasilnya mencapai 265 bps.
Investor asing pekan lalu mencetak posisi jual bersih di pasar saham dan surat berharga negara (SBN) masing-masing senilai Rp820 miliar dan Rp2,64 triliun, berdasarkan data transaksi 26-29 Februari menurut laporan Bank Indonesia.
Sementara pada periode yang sama, pemodal asing masih mencetak Rp1,46 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Alhasil, selama rentang waktu tersebut, pemodal asing masih mencetak posisi jual bersih senilai total Rp2 triliun di pasar keuangan domestik.
Apabila menghitung sepanjang 2024 sampai data setelmen akhir Februari, pemodal asing masih mencatat posisi jual (net sell) di SBN senilai Rp4,93 triliun. Sementara di pasar saham dan SRBI, asing masih mencetak posisi net buy masing-masing Rp20 triliun dan Rp25,51 triliun.
(rui)