Logo Bloomberg Technoz

Harga nikel sudah anjlok lebih dari 45% sepanjang tahun lalu, dari level tertingginya di US$33.924/ton pada Maret 2022. Per hari ini, harga nikel di London Metal Exchange (LME) diperdagangkan di US$17.896/ton, naik tipis 1m68% dari hari sebelumnya.

Proyeksi surplus pasar nikel dunia./dok. Bloomberg

Macquarie Group Ltd sebelumnya  juga memperingatkan pasar nikel global dapat secara mengejutkan berbalik mengalami defisit tahun ini, jika pertumbuhan produksi Indonesia terhambat oleh lambatnya persetujuan izin pertambangan.

Macquarie pada dasarnya masih berpegang pada estimasi bahwa pasar nikel dunia akan mengalami surplus hampir 40.000 ton tahun ini. Namun, proyeksi itu bisa berbalik arah jika Pemerintah Indonesia lambat dalam memberi persetujuan RKAB pertambangan.

Analis Macquarie, Jim Lennon, memproyeksikan pertumbuhan produksi nikel di Indonesia berisiko turun di bawah 13% pada tahun ini akibat keterlambatan izin RKAB.

“Ini adalah perubahan besar dari perkiraan kami baru-baru ini,” tulis mereka, dikutip Bloomberg.

Tanpa persetujuan RKAB tersebut, produsen nikel tidak dapat beroperasi, sehingga proses produksi pun bisa terhambat. Pemerintah berjanji bahwa izin-izin tersebut akan dituntaskan pada bulan ini.

Di luar Indonesia, stok nikel yang tertumpuk di China tahun lalu mungkin juga lebih kecil dari perkiraan sebelumnya mengingat peningkatan konsumsi yang lebih besar dari perkiraan, kata para analis, mengutip penelitian lapangan.

Walhasil, pasar tampaknya lebih mendekati keseimbangan dibandingkan dengan penilaian sebelumnya, kata Macquarie.

Sekadar catatan, bijih nikel di Indonesia diperdagangkan dengan harga lebih dari US$7 per ton dibandingkan dengan harga jual minimum yang ditetapkan pemerintah, kata Macquarie. Hal ini akan menambah sekitar US$700 per ton biaya produksi di negara ini.

Kondisi tersebut juga memberikan keringanan yang signifikan bagi para penambang dan pabrik peleburan di Indonesia, di mana banyak dari mereka yang mempertimbangkan penutupan pabrik karena produksi besar-besaran berbiaya rendah di Indonesia membuat mereka tidak kompetitif.

(wdh)

No more pages