“Meskipun diklaim terdapat masa depan yang menjanjikan dan peluang yang sangat besar bagi negara yang bisa didapat industri nikel, dampaknya terhadap masyarakat sekitar, terutama kesehatan dan sumber mata pencarian, menempatkan mereka pada risiko [ekonomi] yang besar.”
Menurut riset tersebut, kerugian ekonomi yang lebih besar akan dirasakan dari degradasi kualitas air, tanah, dan udara yang pada akhirnya memicu kemerosotan dalam jumlah nilai mata pencarian para nelayan dan petani di sekitar kawasan industri nikel.
Diproyeksikan dalam laporan, bahwa dalam 15 tahun ke depan, para petani dan nelayan akan mengalami kerugian hingga US$234,84 juta (sekitar Rp3,64 triliun).
Selain itu, mitos tentang proyek industri nikel mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal melalui penyerapan tenaga kerja dan kenaikan upah turut terbantahkan dalam studi ini, papar Bhima.
Peningkatan dalam penyerapan tenaga kerja, hanya akan terjadi pada tahun ke-3 pada saat tahap konstruksi pabrik, kemudian cenderung menurun hingga tahun ke-15, seiring dengan dampak negatif dari kehadiran industri nikel berpengaruh ke serapan kerja sektor usaha lainnya khususnya pertanian dan perikanan.
Tersulut Batu Bara
Salah satu pemicu degradasi manfaat ekonomi dari penghiliran nikel, menurut Bhima, adalah penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara captive yang melekat di kawasan industri pengolahan nikel.
“Pengolahan bijih nikel kadar rendah memerlukan banyak energi dan Indonesia bergantung pada tenaga batu bara. Dari 10,8 GW kapasitas operasi seluruh pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia, lebih dari 75% atau 8,2 GW didedikasikan untuk pengolahan logam,” paparnya.
Dari jumlah tersebut, nikel saja mengkonsumsi tiga perempatnya atau sekitar 6,1 GW.
Analis Crea, Katherine Hasan, menambahkan ketergantungan industri pada pembangkit listrik tenaga batu bara akan menyebabkan setidaknya 3.800 kematian tiap tahunnya dalam dua tahun ke depan, dan hampir 5.000 kematian pada akhir dekade ini.
“Hal itu menyebabkan beban ekonomi sebesar US$2,63 miliar dan US$3,42 miliar per tahun pada periode yang sama,” sebut Hasan.
Dia melanjutkan China saat ini merupakan investor terbesar dalam pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia, dengan lebih dari 70% kepemilikan dimiliki oleh 14 perusahaan pengolahan dan pertambangan logam swasta dan milik negara.
“Investasi berkelanjutan China pada pembangkit listrik tenaga batu bara telah memainkan peran penting dalam melemahkan target pengurangan emisi Indonesia,” kata Lauri Myllyvirta, Analis Utama di Crea.
“Meskipun China berjanji pada tahun 2021 untuk berhenti membangun pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri, investasi pada pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia terus berlanjut, dan semua pembangkit listrik tenaga batu bara yang didanai oleh investasi China berbasis di kawasan industri pembangkit listrik tenaga batu bara dan pertambangan di Indonesia,” tambahnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengamini program hilirisasi nikel di Maluku Utara dan Sulawesi Tengah berhasil mengantarkan kedua provinsi tersebut mencapai pertumbuhan ekonomi fantastis pada 2023.
Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan pertumbuhan ekonomi di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua melaju di atas rerata pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun lalu.
Secara spesifik, pertumbuhan ekonomi di Pulau Sulawesi menembus 6,37% secara anual, sedangkan di Maluku dan Papua 6,94%.
“Pertumbuhan ekonomi 2023 tertinggi ada di Maluku Utara yaitu 20,49%, sedangkan di Sulawesi Tengah 11,91%” ujar Amalia.
Dia pun tidak menampik pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara dan Sulawesi Tengah didorong industri pengolahan, pertambanagan, dan penggalian.
“Industri yang memang cukup besar di kedua provinsi tersebut adalah berasal dari industri olahan barang tambang terutama feronikel. Jadi, jika ditarik kesimpulan, industrialisasi atau program hilirisasi nikel memang memberikan dampak pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di sana,” tegas Amalia.
Sayangnya, hilirisasi nikel di provinsi-provinsi tersebut terbukti belum mampu secara signifikan menurunkan angka kemiskinan. Data BPS mencatat, di Sulawesi Tengah saat ini terdapat 395.660 orang penduduk miskin, hanya berkurang 1,2% dalam satu dekade.
Sebagai gambaran, pada 2013, jumlah penduduk miskin di provinsi tersebut mencapai 400.400 orang. Menurut persentase, jumlah penduduk miskin di Sulawesi Tengah pada 2023 setara dengan 12,41% dari total populasi.
Hal yang sama juga terlihat di Maluku Utara. Pada 2013, jumlah penduduk miskin di provinsi di mana ada tambang besar di Weda Bay, mencapai 83.200 orang. Sepuluh tahun berlalu, jumlah penduduk miskin di wilayah tersebut malah bertambah menjadi 83.800 orang.
Persentasenya juga stagnan, padahal pertumbuhan ekonomi sudah melesat hampir empat kali lipat dalam 10 tahun.
Tidak hanya itu, ketimpangan ekonomi juga tidak menunjukkan pemerataan. Pada 2013, rasio gini di Maluku Utara ada di angka 0,315. Angka itu nyaris stagnan di mana pada 2023 sampai data terbaru Maret tahun lalu, rasio gini provinsi ini masih sekira 0,300.
Rasio gini diukur dengan ukuran 0 hingga 1 di mana makin mendekati satu berarti tingkat ketimpangan pendapatan penduduk kian melebar atau mendekati ketimpangan sempurna. Sebaliknya, kian mendekati angka nol, berarti distribusi pendapatan semakin merata atau mendekati pemerataan sempurna.
Rasio gini di Maluku Utara sempat membaik pada 2022 yang menyentuh level terendah satu dekade di angka 0,279. Namun, tahun lalu ketimpangan makin memburuk terindikasi dari kenaikan rasio gini pada semester I-2023 di 0,309 dan di paruh kedua tahun lalu di 0,300.
Ketimpangan juga masih tinggi di Sulawesi Tengah dengan rasio gini sebesar 0,324 tahun lalu. Angka itu memang sudah lebih baik bila dibandingkan dengan satu dekade sebelumnya, saat rasio ketimpangan pendapatan Sulawesi Tengah mencapai 0,410.
Namun, rasio gini Sulteng pada 2023 itu lebih buruk dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya atau pada 2019 yang bertengger di 0,304.
(wdh)