Berdasarkan definisi BPS, NTP adalah perbandingan indeks harga yang diterima oleh petani (lt) terhadap indeks harga yang dibayar oleh petani (lb). NTP menjadi salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di perdesaan.
Selain itu, menurut definisi Badan Pusat Statistik (BPS), NTP menunjukkan daya tukar (term of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi.
NTP biasa dilihat sebagai indikator umum daya beli komoditas atau produk pertanian terhadap barang dan jasa yang dibeli petani baik untuk kebutuhan hidup sehari-hari atau untuk biaya produksi dan penambahan barang modal. "Bila mengikuti definisi BPS, NTP sama sekali tidak berhubungan dengan kesejahteraan petani," kata Khudori.
NTP hanya membandingkan harga, bukan pendapatan dan biaya hidup petani sementara kuantum produksi dan kuantum konsumsi tidak dihitung. "Hanya variabel harga yang dihitung tapi tidak mencakup nilai produksi dan nilai jasa atau produk yang dikonsumsi petani. Karena hanya variabel harga yang dipertimbangkan, dengan demikian dapat diartikan bahwa produksi diasumsikan selalu surplus dan bisa dipasarkan. Padahal, secara riil, tidak semua petani surplus produksi," jelas Khudori.
Pada Februari lalu, NTP nasional naik 2,28% ke 120,97 dibanding Januari. Kenaikan itu, kata BPS, karena indeks harga yang diterima petani naik 2,89% lebih tinggi dibanding kenaikan indeks harga yang dibayar petani sebesar 0,59%.
Bulan lalu, indeks konsumsi rumah tangga (IKRT) di Indonesia tercatat sebesar 0,81% terutama karena kenaikan indeks pada sebagian besar kelompok pengeluaran. Alhasil, nilai tukar usaha rumah tangga pertanian (NTUP) nasional pada Februari lalu naik 2,74% dibanding Januari.
Petani yang memiliki lahan luas semakin berkurang jumlahnya di Indonesia. Pada 2013 silam, proporsi petani gurem di Indonesia mencapai 55,33%. Namun, 10 tahun kemudian, proporsinya semakin besar mencapai 60,84%. Jumlah petani gurem mencapai 16,89 juta rumah tangga, bertambah 2,64 juta rumah tangga, berdasarkan hasil Sensus Pertanian yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Desember lalu.
Sementara luas panen pada Januari-April diprediksi seluas 3,52 juta hektare, turun 16,48% dibanding periode yang sama tahun lalu. Pada Maret ini, potensi luas lahan padi mencapai 1,16 juta hektare di mana puncak panen diprediksi terjadi pada April dengan luasan mencapai 1,59 juta hektare.
(rui)