Sementara Fidelity memandang, ada potensi carry-trade bagi kurva imbal hasil yang mendatar. Sedangkan Abrdn, pengelola dana di Singapura, menggarisbawahi pengelolaan keuangan pemerintah yang sehat menjadi alasan terbaik untuk mengoleksi surat utang negara RI saat ini.
"Agak sulit mengabaikan pasar obligasi seperti Indonesia. Surat utang Indonesia sepertinya akan mencatat kinerja melampaui surat utang lain di kawasan," kata Jerome Tay, manajer investasi di Abdrn Singapura, seperti dilansir oleh Bloomberg News, Senin (4/3/2024).
Risiko 'Makan Siang Gratis'
Berakhirnya gelar Pemilu dan Pilpres 14 Februari lalu telah mengurangi ketidakpastian. Akan tetapi, kekhawatiran baru yang mulai muncul terkait risiko defisit fiskal apabila program populis seperti makan siang gratis untuk anak sekolah dilangsungkan, bisa membebani pamor surat utang RI.
Selain itu, kemunduran jadwal penurunan bunga The Fed dari tadinya diekspektasikan pada Maret menjadi semakin mundur ke Juni, juga membebani pamor obligasi dari pasar negara berkembang termasuk surat utang Indonesia.
Namun, meski dua hal itu membebani, sejauh ini terlihat efeknya belum terlalu besar. Berdasarkan data yang dikompilasi oleh Bloomberg, total return surat utang RI hanya terkikis 0,87% year-to-date, menjadi yang terkecil dibanding surat utang terbitan negara lain di Asia.
"Indonesia memulai dengan kondisi fiskal yang kuat sehingga mungkin di sana ada ruang untuk pelonggaran dari sisi fiskal tanpa perlu membuat pasar ketakutan atau membawanya ke titik yang buruk," kata Ian Samson, Portfolio Manager di Fidelity, Singapura.
Baginya selaku pengelola dana, surat utang RI berada menjadi pilihan pertama di Asia terutama untuk ktenor menengah lima tahun di mana kurva imbal hasilnya berpotensi memberikan untung dari sentimen penurunan bunga acuan.
Head of Global Macro Research Ashmore Gustavo Medeiros menambahkan, perusahaannya masih memberi bobot 'overweight' untuk surat utang RI dan mengincar tenor panjang dengan ekspektasi volatilitasnya lebih kecil sehingga bisa memberikan keuntungan yang stabil dibanding surat utang lain di Asia.
Selisih Yield Menyempit
Meski masih menarik di mata banyak investor, penyempitan selisih imbal hasil SUN dengan Treasury, surat utang AS, yang relatif menyempit, mungkin akan membatasi minat terhadap SUN dalam jangkauan yang lebih luas.
Tingkat imbal hasil SUN-10 tahun saat ini berada di 6,61% sehingga membawa selisih yield dengan US Treasury, surat utang AS, berada di level yang kian sempit di angka 242 basis poin, mendekati level terendah tahun ini.
Investor asing mungkin akan lebih tertarik mengoleksi surat utang dari emerging market lain seperti dari Amerika Latin di mana beberapa di antara mereka sudah mulai menurunkan bunga acuan untuk melonggarkan perekonomian.
"Minat asing tidak terlalu besar karena surat utang dari Brazil, Meksiko dan Eropa Timur memberikan imbal hasil lebih menarik ditambah prospek kebijakan ke depan," kata Philip McNicholas, Strategist di Robeco Group di Singapura.
Sikap Bank Indonesia yang berulang menegaskan belum akan menempuh pelonggaran moneter sampai tren penurunan bunga The Fed dimulai, juga disoroti. Hal itu di mata investor menjadi acuan dalam mempertahankan posisi saat ini atau sedikit di bawah bunga acuan.
BI berulang juga memastikan kebijakan bunga acuan diarahkan lebih besar untuk membantu stabilisasi nilai rupiah yang masih terbebani ketidakpastian global, setidaknya sampai ada pembalikan arah kebijakan bunga terutama dari Amerika.
Deputi Gubernur BI Juda Agung pekan lalu menyatakan, bank sentral menyadari pertumbuhan ekonomi RI saat ini membutuhkan sokongan dari pelonggaran moneter. Namun, BI tidak memiliki pilihan selain mempertahankan di level saat ini 6% karena rupiah masih menghadapi ancaman ketidakpastian global.
"Kami melihat surat utang Indonesia menjadi pilihan yang bagus menjelang siklus penurunan bunga global yang akan datang karena kebijakan BI kemungkinan mengikuti kebijakan The Fed. Imbal hasil obligasi di negara maju sangat terbalik [inverted] sementara kurva surat utang RI cukup datar yang berarti strategi itu menjadi yang lebih baik untuk mengambil untung dari siklus penurunan bunga nanti," imbuh Samson.
Investor asing pekan lalu mencetak posisi jual bersih di pasar saham dan surat berharga negara (SBN) masing-masing senilai Rp820 miliar dan Rp2,64 triliun, berdasarkan data transaksi 26-29 Februari menurut laporan Bank Indonesia.
Sementara pada periode yang sama, pemodal asing masih mencetak Rp1,46 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Alhasil, selama rentang waktu tersebut, pemodal asing masih mencetak posisi jual bersih senilai total Rp2 triliun di pasar keuangan domestik.
Apabila menghitung sepanjang 2024 sampai data setelmen akhir Februari, pemodal asing masih mencatat posisi jual (net sell) di SBN senilai Rp4,93 triliun. Sementara di pasar saham dan SRBI, asing masih mencetak posisi net buy masing-masing Rp20 triliun dan Rp25,51 triliun.
(rui/aji)