Logo Bloomberg Technoz

Kemelut harga beras yang pasti telah merembet ke lonjakan harga berbagai komoditas pangan lain seperti telur, daging ayam bahkan bumbu-bumbu dapur seperti cabai dan bawang.

Sebenarnya, setiap menjelang Ramadan, harga komoditas dapur memang lazim naik akibat lonjakan permintaan. Namun, khusus tahun ini lonjakan harga kebutuhan dapur itu seakan 'curi start' sehingga tekanan kenaikan harga akan lebih besar dan membuat Ramadan serta Idulfitri tahun ini jadi lebih mahal dibanding tahun lalu.

Secara bulanan, inflasi Februari lalu tercatat 0,37% dan secara tahunan sebesar 2,75%. Sementara tahun lalu di mana IdulFitri jatuh pada April, inflasi pada sebulan sebelumnya yakni pada Maret 2023 hanya sebesar 0,18%.

Bahkan pada bulan ketika puncak musim perayaan tiba, inflasi Lebaran 2023 menjadi yang terendah dibanding lebaran-lebaran tahun sebelumnya karena pasokan pangan melimpah terutama untuk komoditas padi dan cabai.

Inflasi Non-Pangan

Ketika datang musim perayaan, bukan hanya inflasi harga pangan saja yang melesat. Tradisi baju baru lebaran dan mudik akan menyumbang pula inflasi kelompok pakaian, alas kaki dan juga inflasi transportasi.

Berkaca pada Ramadan tahun-tahun sebelumnya, periode 2020-2023, menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), biasanya penyumbang inflasi terbesar adalah emas perhiasan, rokok kretek filter, daging ayam ras hingga minyak goreng. Bukan cuma itu, kelompok barang seperti daging sapi, gula pasir, hingga bahan bakar rumah tangga juga biasanya meningkat andilnya ke inflasi.

Inflasi Indonesia pada Februari 2024 (Bloomberg)

Sementara bila melihat catatan Lebaran tahun lalu, inflasi kelompok transportasi mencapai 11,96% ketika inflasi kelompok makanan dan minuman hanya 4,58%. Sedangkan inflasi kelompok pakaian dan alas kaki hanya 1,8%.

Andil inflasi kelompok transportasi menjadi yang terbesar mencapai 1,45% pada inflasi Lebaran tahun lalu, disusul inflasi kelompok makanan 1,2%. Pada bulan ketika Lebaran datang tahun lalu pada April 2023, inflasi mencapai 0,33% dan inflasi tahunan 4,33%.

Prospek Bunga Acuan

Inflasi Februari yang melampaui perkiraan ditambah potensi lonjakan inflasi lebih tinggi saat puncak perayaan Lebaran pertengahan April nanti, terlihat mempersempit peluang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan bunga acuan BI rate.

Tekanan inflasi diperkirakan masih akan kuat bulan-bulan ke depan akan menjadi kewaspadaan bank sentral yang menargetkan inflasi 2024 di kisaran 2,5±1%. Pada saat yang sama, BI juga masih berkepentingan menjaga stabilitas rupiah yang belum menemukan pijakan lebih kuat sejauh ini.

Selama Februari, pergerakan rupiah masih cenderung melemah dibandingkan bulan sebelumnya kendati mencatat penguatan level penutupan dibanding akhir Januari. Menghitung posisi akhir 2023, rupiah masih melemah sekitar 2% year-to-date. 

Rupiah yang masih lemah ditambah inflasi yang diprediksi menapak semakin tinggi, tidak memberikan ruang bagi bank sentral untuk melonggarkan kebijakan moneter kendati sejauh ini daya beli masyarakat sudah banyak tertekan.

Penumpang kereta api tiba saat arus balik mudik di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Selasa (25/4/2023). (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)

Inflasi inti Februari ada di 1,68% year-on-year atau 0,14% month-to-month. "Angka ini memperlihatkan tekanan daya beli masih ada dan terkendali setelah lonjakan pembukaan ekonomi pasca pandemi berakhir," komentar Ekonom Bloomberg Economics untuk Indonesia Tamara M. Henderson dalam catatannya usai pengumuman data inflasi oleh BPS hari ini.

Dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia yang digelar di Jakarta 21 Februari lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan bank sentral masih mewaspadai risiko inflasi harga pangan dan inflasi dari kegiatan importasi barang (imported inflation).

Gangguan supply chain seiring masih panasnya konflik geopolitik di beberapa kawasan ditambah gangguan iklim yang bisa menaikkan harga pangan. Lonjakan harga pangan di pasar global bisa berimbas jauh ke dalam negeri di mana itu bisa mengerek laju inflasi pangan bergejolak (volatile food) yang saat ini sudah di atas 7% dari tadinya 6%. 

"Ini yang perlu diatasi terkait harga pangan. Faktor El Nino, musiman dan tertundanya musim panen serta faktor-faktor global lain perlu diatasi oleh kerjasama pemerintah dengan bank sentral," kata Perry.

BI memperkirakan, inflasi harga pangan bergejolak sifatnya temporer dan setelah masa panen pada April-Mei nanti, tekanan harga pangan akan kembali melandai sehingga secara keseluruhan, kata Perry, tidak akan mengganggu rancangan arah kebijakan BI. Tahun ini, BI menargetkan inflasi volatile food di kisaran 5%.

Dengan lanskap itu selain menimbang prediksi penurunan bunga global diperkirakan baru akan terjadi pada semester II nanti, BI memutuskan masih akan menahan bunga acuan.

"BI Rate sementara waktu kami pertahankan, sampai kapan? Baseline scenario kami adalah [baru turun] pada semester II dengan indikator inflasi tetap terkendali, perekonomian tumbuh bagus terutama bila rupiah tetap stabil dan cenderung menguat.

"Kami meyakini bahwa begitu ada kepastian Fed Funds Rate [bunga acuan Amerika] turun dan berbagai kondisi ekonomi global yang tadi, dolar AS tidak akan terus kuat dan ada kejelasan investor luar negeri untuk masuk ke Indonesia," kata Perry. 

-- dengan bantuan laporan Azzura Ramadani

(rui/aji)

No more pages