“Perusahaan automaker di sana juga beli nikelnya dari Indonesia, masih. Eropa juga cukup agresif masuk ke Indonesia. Jadi kami enggak melihat ya barrier-nya,” tegas Seto.
“Memang mungkin Australia mulai ‘ngomong-ngomong’ [kampanye hitam terhadap nikel RI]. Jadi saya lihat justru ESG [environmental, social, and corporate governance] atau segala macam mau dijadikan alasan untuk menjustifikasi nikel mereka yang tidak kompetitif. Saya kira ini kita harus kompak menghadapinya.”
Dia pun menggarisbawahi Indonesia memiliki posisi tawar yang sangat kuat di pasar logam, sehingga pada akhirnya negara lain yang harus menerima kenyataan bahwa konstelasi pasar nikel dunia sudah bergeser.
“At the end, kita akan melihat realitasnya. Dalam 3—4 tahun terakhir kan hampir seluruh suplai [nikel] untuk memenuhi kenaikan permintaan itu kan memang dari Indonesia. Jadi ya memang realitasnya seperti itu,” tegas Seto.
Keluhan Para Taipan
Pada saat sekitar separuh dari seluruh operasi tambang nikel dunia tidak lagi menguntungkan di tengah harga yang rontok, para bos perusahaan pertambangan terbesar global belum lama ini memberikan peringatan bahwa prospek pemulihan industri tersebut kian suram.
CEO Anglo American Plc Duncan Wanblad mengatakan perusahaannya sedang meninjau kinerja hampir semua tambang miliknya dalam upaya untuk memangkas biaya yang tidak kompetitif.
“Bisnis nikel kami akan menjalani prospek yang buruk dalam hal mempertahankan keunggulannya dan menghasilkan keuntungan yang layak,” katanya, sembari mengatakan Anglo American membutuhkan waktu untuk menghadapi ancaman dari Indonesia.
“Ada tantangan struktural yang serius akibat nikel Indonesia,” kata Wanblad, setelah perusahaannya mengumumkan penurunan nilai bisnis nikel sebesar US$500 juta pekan lalu.
“Sepertinya mereka [Indonesia] tidak akan berhenti dalam waktu dekat.”
BHP Group, korporasi tambang terbesar di dunia dari Australia, juga mengatakan nikel adalah sebuah kesalahan pembulatan, yang menyumbang sebagian besar kerugian terhadap keuntungan perusahaan yang biasanya mencapai US$30 miliar per tahun.
CEO BHP Group Mike Henry mengakui bahwa perusahaan terpaksa mengambil keputusan apakah akan menutup bisnis nikel andalannya di Australia dalam beberapa bulan ke depan. Setelah mencatatkan nilai bisnis sebesar US$2,5 miliar, Henry memperkirakan pasar nikel akan tetap surplus hingga setidaknya hingga 2030.
“Itu berarti rasa sakit akibat oversupply dari Indonesia mungkin baru saja dimulai,” ujarnya.
BHP pekan ini juga mendesak London Metal Exchange (LME) untuk memperluas kebijakan perdagangan yang bertanggung jawab dengan mencakup uji tuntas terhadap lingkungan, membantu membedakan produksi dari pasokan Indonesia dan China.
Di sisi lain, Glencore Plc juga telah menutup operasi nikelnya di kepulauan Kaledonia Baru, yang adalah salah satu penghasil nikel terbesar di dunia dengan bisnis yang luas di Kanada dan Australia.
“Dengan harga saat ini, bisnis tambang nikel hanya akan menghasilkan US$500 juta tahun ini, dan harga akan tetap tertekan ke depannya,” kata CEO Glencore Gary Nagle.
“Kami melihat pertumbuhan produksi yang kuat terus berlanjut di Indonesia. Kami tidak mengharapkan pemulihan harga yang signifikan dalam jangka pendek dan menengah,” ujarnya.
Macquarie Group Ltd menghitung bahwa sekitar 250.000 ton produksi nikel tahunan global – setara dengan sekitar 7% dari total – telah dikeluarkan dari pasar karena penutupan tambang, dan 190.000 ton produksi lain yang sudah direncanakan terpaksa tertunda.
Ditambah dengan perlambatan ekonomi di China dan Amerika Serikat serta terbatasnya adopsi kendaraan listrik, harga nikel akhirnya terpukul telak. Harga turun 45% tahun lalu, dan saat ini berada di kisaran US$17.000 per ton.
Menurut Macquarie, pada harga US$18.000 per ton, 35% produksi tidak menguntungkan, sedangkan pada harga US$15.000 per ton, produksi tersebut melonjak hingga 75%.
-- Dengan asistensi Sultan Ibnu Affan
(wdh)