Logo Bloomberg Technoz


Dia pun mengirim pesan kepada perusahaan tambang yang merasa dirugikan agar tidak serta-merta menyalahkan produksi dari Indonesia. Menurutnya, apa yang terjadi pada harga nikel dunia saat ini tidak lebih dari konsekuensi hukum pasar.

“[Harga komoditas] tergantung dinamika supply and demand. Kalau dengan kondisi demand sekarang, saya enggak melihat harga nikelnya bisa naik cukup signifikan lagi ya. Dia mungkin akan bergerak di range yang begini-begini saja.”

Harga nikel sudah anjlok lebih dari 45% sepanjang tahun lalu, dari level tertingginya di US$33.924/ton pada Maret 2022. Per hari ini, harga nikel di London Metal Exchange (LME) diperdagangkan di US$17.601/ton, naik tipis 0,81% dari hari sebelumnya.

Saat ditanya kapan kira-kira keruntuhan harga nikel akan terus berlangsung, Seto menjawab semuanya tergantung pada prospek pemulihan ekonomi global khususnya China – selaku konsumen nomor wahid seluruh komoditas mineral logam dan derivatifnya.

“Saya kira, kalau kita ngomongin [prospek harga nikel], kita mulai dari demand-nya dahulu. Kalau dari sisi suplai kan segini-segini saja. Namun, kalau demand-nya masih begini-begini saja, berarti kan masih balance,” ujarnya.

“Kalau [permintaan] naik, ya mungkin ini nanti yang akan bisa mengerek harga jadi lebih tinggi lagi. Namun, saya kira peningkatan suplai dari Indonesia juga masih bisa cukup fleksibel, di samping nanti negara-negara lain juga mungkin yang tadinya enggak kompetitif jadi lebih kompetitif lagi. Jadi, pada akhirnya, harganya juga akan tertahan kenaikannya.”

Nikel. (dok: Bloomberg)


Untuk diketahui, pasar logam dan industri pertambangan dunia tengah menghadapi fenomena yang acapkali disebut sebagai ‘nickel woes’.

Banyak tambang nikel terbesar di dunia sedang menghadapi masa depan yang makin suram karena mereka menyadari adanya ancaman nyata, yaitu; pasokan logam murah dari Indonesia yang hampir tidak terbatas.

Saat sekitar 50% dari seluruh operasi tambang nikel dunia tidak lagi menguntungkan di tengah harga yang rontok, para bos perusahaan pertambangan terbesar global pekan lalu memberikan peringatan bahwa prospek pemulihan industri tersebut kian kabur.

Potensi runtuhnya pertambangan nikel dari Australia hingga Kaledonia Baru juga terjadi pada saat pemerintah negara-negara Barat sedang berjuang untuk mengamankan rantai pasok yang diperlukan bagi upaya dekarbonisasi perekonomian global.

Namun ironisnya, suplai nikel yang diproduksi dengan pembangkit batu bara di Indonesia justru merugikan logam sejenis yang diproduksi secara ramah lingkungan, yang sejauh ini justru gagal mendapatkan harga premium di pasar.

Pertambangan nikel./Bloomberg-Norm Betts


Di sisi lain, perebutan kendali atas logam strategis dari China telah menjadi titik fokus pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden.

Meskipun para pejabat Amerika telah melakukan perjalanan ke seluruh dunia demi mencapai kesepakatan untuk mengamankan bahan-bahan seperti kobalt dan tembaga, dampak terburuknya terjadi pada nikel Indonesia yang didukung oleh China. Terlebih, nikel merupakan komponen penting dalam kendaraan listrik.

Indonesia kini menyumbang lebih dari separuh pasokan dunia, dengan potensi mencapai tiga perempat dari seluruh produksi global pada akhir dekade ini.

“Ada tantangan struktural yang serius akibat nikel Indonesia,” kata Duncan Wanblad, CEO Anglo American Plc, setelah perusahaannya mengumumkan penurunan nilai bisnis nikel mencapai US$500 juta pekan lalu.

“Sepertinya mereka [Indonesia] tidak akan berhenti dalam waktu dekat.”

Bank Dunia pun melihat sebanyak 253.000 ton kapasitas pertambangan nikel di dunia berada dalam risiko, serta mengatakan bahwa produsen nickel pig iron (NPI) yang tidak terintegrasi di China dan Indonesia juga perlu mengurangi produksinya.

“Penurunan harga nikel sebesar 45% pada 2023 mulai mendorong pembatasan pasokan, menunjukkan bahwa harga hampir mencapai titik terendah,” tulis analis Bank Dunia. “Namun, latar belakang permintaan yang lebih kuat akan diperlukan agar kenaikan harga lebih bermakna.:

Anjloknya harga nikel itu pun turut mengakibatkan raksasa pertambangan global kompak menutup operasi tambang nikel di sejumlah negara.

Proyeksi surplus pasar nikel dunia./dok. Bloomberg

BHP Group — perusahaan pertambangan terbesar di dunia — mempertimbangkan masa depan tambang Nickel West andalannya di Australia, setelah sebelumnya sempat bernapsu mengakuisisi tambang itu sejalan dengan tren permintaan nikel untuk baterai kendaraan listrik.

Selain BHP, Panoramic Resources Ltd pun menangguhkan sebuah tambang utama setelah memasuki administrasi sukarela pada akhir tahun lalu, ketika perusahaan tersebut gagal menemukan pembeli atau mitra.

Kemudian, aset pertambangan IGO Ltd juga akan ditutup. Begitu pula beberapa aset yang dioperasikan oleh Wyloo Metals Pty Ltd milik taipan Andrew Forrest dan First Quantum Minerals Ltd.

Para produsen tersebut belakangan juga telah meminta bantuan pejabat. Pada pertemuan krisis akhir bulan lalu, mereka meminta pemerintah federal untuk memberikan kredit pajak untuk pemrosesan hilir.

-- Dengan asistensi Sultan Ibnu Affan

(wdh)

No more pages