"Memang harus ada LFP, kalau enggak, ya transisi energi dan jualan EV-nya akan terhambat nanti. Jadi kita juga enggak perlu terlalu khawatir," ujar dia.
Ancaman ke Depan
Menurutnya, ancaman yang bakal menghantui dan menghambat perkembangan EV Indonesia ke depan justru soal fluktuasi harga nikel yang kini tengah terombang-ambing, yang mungkin berpeluang akan mempengaruhi pasar dan nilai keekonomian EV ke depan.
"Justru ancamannya itu tadi, suplainya enggak cukup, harga nikelnya tinggi, ya orang akan cari alternatif. Itu justru yang akan berbahaya kalau menurut saya."
Pemerintah sebelumnya memang telah membukan peluang untuk bekerja sama dengan China dalam pengembangan LFP di dalam negeri. Apalagi, saat ini, otomaker EV yang baru saja melantai di RI, yakni Build Your Dreams (BYD) telah menggunakan LFP dalam beberapa produk mobil EV-nya.
Bahkan, Seto mengatakan, perusahaan China itu kini telah ingin memulai untuk memproduksi LFP di dalam negeri, bersamaan dengan proses integrasi bahan baku lainnya.
"Iya, mungkin LFP untuk battery pack-nya sudah [tahun ini] ya. Tapi kita mau lihat katodanya dan segala macam, toh mereka akan mau bangun ekosistemnya," ujar dia.
Nasib Nikel
Adapun, Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan (Perhapi) Rizal Kasli mengatakan peluang pengembangan baterai LFP di Indonesia sebenarnya sudah sejalan dengan pembentukan ekosistem kendaraan EV di dalam negeri dalam beberapa tahun ke depan, meski saat ini Indonesia masih fokus pada pengembangan baterai berbasis nikel.
"Kerja sama [pengembangan baterai LFP dengan China] ini kemungkinan besar akan terjadi karena pengembangan baterai ini sangat penting untuk ekosistem kendaraan listrik," ujar Rizal saat dihubungi, baru-baru ini.
Meski demikian, kata Rizal, peluang kerja sama tersebut tidak akan serta-merta akan menggerus permintaan baterai berbasis nikel atau nickel manganese cobalt (NMC), khususnya melalui program hilirisasi nikel yang saat ini juga tengah menjadi fokus pemerintah petahana.
Rizal berpendapat ekosistem bisnis EV saat ini juga masih mengandalkan nikel sebagai bahan baku baterai EV. "Jadi saling melengkapi untuk memenuhi kebutuhan baterai EV itu," kata dia.
Rizal memperkirakan permintaan baterai EV bakal meningkat dalam beberapa waktu ke depan. Bahkan, hingga 2033, pertumbuhan penjualan baterai EV diperkirakan mencapaai 14,4% tiap tahunnya.
Selain untuk baterai EV, kata Rizal, pasokan nikel dalam negeri saat ini juga masih dibutuhkan sebagai produk olahan baja nirkarat. Menurutnya, saat ini 85% penggunaan nikel ditujukan untuk produk olahan tersebut, seperti baja nirkarat dan baja paduan.
"Pada 2040 pemakaian [nikel] untuk baterai diprediksi meningkat, tetapi masih di bawah pemakaian untuk stainless steel dan alloy. Pasar nikel ke depan masih tetap akan cerah. Pengembangan industri nikel di Indonesia didominasi oleh produk nikel kelas 2 [saprolite] yang memang diperuntukkan untuk itu."
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan pertama kali mengumumkan pada Januari bahwa Indonesia membuka peluang kerja sama pengembangan baterai berbasis LFP dengan China.
Hal itu ia ungkapkan menyusul sindiran mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, yang menyatakan bahwa anjloknya harga nikel disebabkan oleh dominasi LFP untuk industri EV global.
"Kita bersyukur, LFP juga [akan] kita kembangkan dengan Tiongkok. Baterai litium juga kita kembangkan," ujar Luhut dalam pernyataan melalui video di laman Instagram resminya.
Belakangan, harga nikel, yang digunakan untuk membuat baja tahan karat dan baterai kendaraan listrik memang telah merosot hingga 45% sepanjang tahun lalu.
Hal itu diklaim didorong oleh membanjirnya pasokan murah dari Indonesia, yang dinilai akan mengancam dan mengganggu industri produk olahan nikel, termasuk ekosistem EV.
(wdh)