Bloomberg Technoz, Jakarta - Rupiah berhasil menutup Februari dengan penguatan tipis 0,41% point-to-point (ptp) dibanding level penutupan bulan sebelumnya.
Namun, selama Februari pergerakan rupiah lebih lemah dibanding Januari seiring masih kuatnya sentimen politik seputar penyelenggaraan Pemilu dan Pilpres dan ketidakpastian yang masih tersisa setelahnya, ditambah sentimen global yang juga masih menguatkan pamor dolar Amerika Serikat (AS).
Rupiah bergerak rata-rata di kisaran Rp15.657/US$ selama Februari, lebih lemah dibandingkan rentang pergerakan selama Januari yang ada di Rp15.612/US$. Sementara bila dibandingkan posisi akhir 2023, rupiah mencatat pelemahan 2% year-to-date sampai akhir Februari lalu.
Kinerja rupiah selama Februari apabila dibandingkan beberapa mata uang lain di kawasan Asia, termasuk lebih baik. Ringgit Malaysia, misalnya, pada Februari merosot nilainya sampai 6% ptp. Sedangkan dong Vietnam mencatat pelemahan sekitar 0,91% ptp. Rupiah berada di kelompok valuta Asia yang masih mampu mencetak penguatan pada Februari bersama peso Filipina yang menguat tipis 0,15%, won Korea yang naik nilainya 0,22%, juga rupee India yang menguat 0,15%.

Prospek ke depan
Kendati rupiah relatif sudah 'lolos' dari sentimen pemberat terkait ketidakpastian Pemilu dan Pilpres, akan tetapi residunya masih ada. Pelaku pasar masih akan mencermati prospek dan arah kebijakan ekonomi pemerintahan baru nanti.
Dengan kini hasil hitung cepat dan penghitungan suara sementara oleh Komisi Pemilihan Umum sepertinya menempatkan Prabowo Subianto sebagai pemimpin baru Indonesia, berbagai program populis berbiaya besar yang dikampanyekan oleh Prabowo menjadi kekhawatiran baru pasar. Seperti misalnya program makan siang gratis untuk anak sekolah yang diproyeksi memakan anggaran hingga Rp450 triliun, lebih besar ketimbang nilai defisit APBN 2023.
Defisit APBN 2025 direncanakan akan melebar mendekati 3% untuk mengakomodasi program tersebut yang akan mempengaruhi prospek surat utang dan fundamental makroekonomi Indonesia. Bila tidak cermat dan cenderung menggoyang prinsip kehati-hatian serta disiplin fiskal, rupiah bisa terdampak karena asing cenderung menjauhi aset-aset di pasar domestik.
Pada saat yang sama, Indonesia juga menghadapi ancaman lonjakan inflasi akibat kenaikan harga beras dan kebutuhan dapur lain yang seperti tak terjeda. Inflasi yang tidak bertahan di kisaran rendah akan membatasi ruang bagi Bank Indonesia untuk memulai penurunan bunga acuan.
Di sisi lain, data inflasi AS yang masih tinggi semakin mengerosi ekspektasi pasar terhadap prospek penurunan bunga acuan The Fed tahun ini. Selama bunga global masih tinggi, akan sulit bagi bank sentral untuk menginisiasi penurunan bunga domestik. Kesemua itu menjadi sentimen pemberat bagi gerak rupiah ke depan.
Pada perdagangan di pasar spot sampai tengah hari ini, Jumat (1/3/2024), rupiah berhasil menguat sedikit ke Rp15.961/US$.
(rui)