Dengan demikian, secara tersirat Seto mengelak tudingan bahwa Indonesia melakukan ekstensifikasi produksi nikel yang memicu runtuhnya harga komoditas tersebut di tingkat global. Banjir nikel RI yang menyebabkan surplus di pasar logam dunia padahal diproyeksi terus akan terjadi setidaknya sampai 2030.
Seto berdalih persyaratan ketat seperti RKAB pertambangan dan amdal tetap membuat produksi nikel Tanah Air tidak bisa naik begitu saja secara drastis.
Lagipula, ujar Seto, perusahaan tambang nikel di Indonesia pun tidak akan serta-merta memacu produksi agar tidak mengalami kerugian, terutama di tengah harga yang tengah melembam.
“Saya kira itu proses ekuilibrium. Kalau di harga nikel seperti sekarang, saya kira bukan banyak sih [produksinya]. [Terbukti,] hampir seluruh perusahaan smelter dan tambang [di dalam negeri] profit-nya masih bagus.”
Bisa Makin Turun
Bagaimanapun, Seto tidak menampik kemungkinan harga nikel —yang saat ini sudah anjlok — masih bisa turun lagi, terutama jika permintaan dari China merosot. Dengan kata lain, masih terbuka kemungkinan harga nikel makin drop ke titik US$15.000/ton.
Harga nikel sudah anjlok lebih dari 45% sepanjang tahun lalu, dari level tertingginya di US$33.924/ton pada Maret 2022. Per hari ini, harga nikel di London Metal Exchange (LME) diperdagangkan di US$17.601/ton, naik tipis 0,81% dari hari sebelumnya.
“Begitu [harga jatuh ke] US$15.000/ton, nanti tambang-tambang nikel di luar Indonesia yang akan anjlok lagi [produksinya]. Akhirnya suplainya juga turun. Saya kira harganya akan ke arah sana,” terang Seto.
Dinamika Wajar
Soal banyaknya tambang nikel di Eropa, Australia Barat, dan Kaledona Baru yang berguguran akibat banjir suplai nikel murah dari Indonesia; Seto hanya menilainya sebagai sebuah dinamika pasar yang lumrah.
“Kalau harganya turun, ya [operasi tambangnya] tidak efisien. Pasti akan tutup. Otomatis penurunan harganya bisa tertahan. Nanti harganya naik lagi begitu permintaannya pulih. Saya kira kita akan lihat bagaimana pemulihan ekonomi China. Kalau pulihnya cepat, saya kira permintaan terhadap nikelnya juga akan meningkat lagi. Akan tetapi, saya kira kita bisa menyesuaikan ya, cukup cepat juga kok.”
Untuk diketahui, raksasa pertambangan global belakangan kompak menutup operasi tambang nikel di sejumlah negara.
Fenonema penutupan tambang nikel milik penambang-penambang top global seperti BHP Group, Panoramic Resources Ltd, IGO Ltd, Wyloo Metals Pty Ltd, dan First Quantum Minerals Ltd pun diharapkan dapat menyeimbangkan suplai dan permintaan nikel setelah harganya terjun bebas lebih dari 43% setahun terakhir.
"Dengan penutupan tambang tersebut akan terjadi keseimbangan baru. Suplai akan berkurang, sehingga harga akan meningkat kembali," ujar Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli kepada Bloomberg Technoz.
Senada dengan Seto, Rizal berpendapat penyetopan operasi tambang nikel di beberapa negara sejatinya merupakan strategi para perusahaan dalam mempertahankan proses bisnisnya.
Ketika harga nikel sedang jatuh, kata Rizal, wajar saja perusahaan mengambil langkah terminasi operasi tambang untuk menekan biaya produksi yang berbanding terbalik dengan potensi pendapatan.
"Apabila harganya kembali di level tertentu dan dianggap menguntungkan, maka tambang tersebut dibuka kembali. Umumnya, perusahaan tersebut [tetap] melakukan perawatan pabrik, mesin produksi dan infrastruktur tambang sehingga siap digunakan kembali pada saat diperlukan," tutur dia.
Bagaimanapun, analis BloombergNEF Allan Ray Restauro berpendapat penurunan produksi dari tambang-tambang di luar Indonesia sepertinya tidak akan memberikan dukungan langsung terhadap harga nikel.
“[Sebab] banjirnya pasokan dari Indonesia diperkirakan terus memberikan tekanan pada harga pada 2024,” ujar Restauro.
Hal ini karena produksi Indonesia – yang sudah menyumbang setengah dari pasokan nikel global – mungkin terbukti lebih tahan terhadap pengurangan produksi.
"Sampai sejauh ini, harga nikel yang terjadi belum berpengaruh kepada tambang nikel di Indonesia. Hal ini disebabkan karena biaya produksi tambang nikel kita lebih rendah dibandingkan negara lain," ujar Rizal.
Analis Macquarie memperkirakan lebih dari 60% industri global merugi karena harga nikel saat ini.
-- Dengan asistensi Sultan Ibnu Affan
(wdh)