Wamendag Yakin RI Menang Atas Sengketa Sawit Lawan Uni Eropa
Pramesti Regita Cindy
01 March 2024 06:40
Bloomberg Technoz, Jakarta - Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga meyakini Indonesia akan memenangkan sengketa diskriminasi kelapa sawit oleh Uni Eropa di World Trade Center (WTO).
"Saya nggak bisa disclose sekarang tapi saya yakin, seyakin-yakinnya kita menang [gugatan]," ujar Jerry ketika ditemui di acara Economic Outlook 2024, di Ritz-Carlton, Jakarta, Kamis (29/2/2024).
Untuk diketahui, Pemerintah Indonesia melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa (UE) di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) pada 9 Desember 2019.
Gugatan tersebut diajukan terhadap kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE. Kebijakan-kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasikan produk kelapa sawit Indonesia.
Melalui kebijakan RED II, UE mewajibkan mulai tahun 2020 hingga tahun 2030, penggunaan bahan bakar di UE akan berasal dari energi yang dapat diperbarui.
Selanjutnya, Delegated Regulation yang merupakan aturan pelaksana RED II mengategorikan minyak kelapa sawit ke dalam kategori komoditas yang memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi.
Hal ini mengakibatkan biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit tidak termasuk dalam target energi terbarukan UE, termasuk minyak kelapa sawit Indonesia.
Meski kasus tersebut masih berjalan, tetapi Jerry berharap gugatan sawit (DS 593) dapat selesai tahun ini.
"Mudah-mudahan tahun ini. Saya yakin tuntutan kita sebagian besar dikabulkan, karena alasannya sangat jelas, mereka tidak tepat untuk mendiskriminasi minyak kelapa sawit kita," tegas Jerry.
Indonesia beberapa kali diketahui mengalami sengketa dengan UE, termasuk perihal kebijakan larangan ekspor bijih nikel (DS 592) oleh pemerintah Indonesia per tanggal 1 Januari 2020.
Dalam surat gugatannya di WTO, UE pada tanggal 22 November 2019 meminta konsultasi dengan Indonesia tentang berbagai langkah mengenai bahan mentah tertentu yang diperlukan untuk produksi baja tahan karat. Ini masih ditambah skema pembebasan bea masuk lintas sektoral dengan syarat penggunaan barang dalam negeri dibandingkan barang impor.
Permintaan tersebut mencakup dugaan tindakan pembatasan ekspor nikel, termasuk larangan ekspor yang sebenarnya, kebutuhan pengolahan dalam negeri untuk nikel, bijih besi, kromium dan batubara, kewajiban pemasaran produk nikel dan batubara dalam negeri, persyaratan izin ekspor nikel, dan, skema subsidi yang dilarang.
Oleh karena itu, UE menyatakan bahwa:
- Tindakan-tindakan (Indonesia) yang membatasi ekspor bahan mentah tertentu, termasuk bahan-bahan yang memerlukan persyaratan pengolahan dalam negeri, kewajiban pemasaran dalam negeri, dan persyaratan perizinan ekspor, tampaknya tidak sejalan dengan Pasal XI:1 GATT 1994;
- Skema subsidi yang dilarang nampak tidak sejalan dengan Pasal 3.1(b) Perjanjian SCM; dan
- Kegagalan untuk segera mempublikasikan tindakan-tindakan yang ditentang tampaknya tidak konsisten dengan Pasal X:1 GATT 1994.
Untuk dipahami bahwa Pasal XI:1 GATT 1994 menyatakan bahwa setiap negara anggota WTO dilarang untuk melakukan pembatasan selain tarif, pajak, dan bea lain, dan bukan pembatasan lain termasuk kuota dan perizinan impor atau penjualan dalam rangka ekspor.