Pertama, kata dia, saat memulai proyek hulu nikel, negara itu dinilainya telah berspekulasi terlalu bahwa harga nikel akan berada di US$20.000/ton.
"Jadi mereka memang menjalankan proyek itu berharap harga nikelnya akan terus tinggi," ujarnya.
Kedua, Seto mengatakan negara tersebut, salah satu contohnya seperti Kaledonia Baru, juga tak melakukan inovasi baru terhadap berbagai proyek hulu hingga hilir komoditas mineral penting itu.
"Mereka memang akan sulit untuk berkompetisi ke depannya. Itu saya kira yang harus dilihat secara komprehensif," tuturnya.
Dia pun lantas mencontohkan Indonesia, sebagai negara yang kini juga tengah dalam proses pengembangan berbagai proyek hulu dan hilir nikel, yang saat ini belum terlalu terdampak dalam anjloknya harga sepanjang tahun lalu.
"Jadi kita harus menyeimbangkan bukan hanya dari sisi upstreamnya, tapi bagaimana juga kepentingan dari sisi hilirnya."
Belakangan, berbagai korporasi pertambangan gigantis memang telah kompak melaporkan rapor merah kinerja keuangan, bahkan berencana menutup tambang nikelnya sejalan dengan kerugian yang diderita akibat kemerosotan harga nikel dunia akibat kelebihan pasok dari Indonesia.
Nikel Indonesia memang diklaim membanjiri pasar selama setahun terakhir. Hal ini menyebabkan harga jatuh, dan sekarang menyumbang lebih dari separuh pasokan global.
Oversuplai nikel juga menyebabkan penutupan operasi tambang Australia yang berbiaya lebih tinggi, dengan Wyloo Metals Ltd milik Taipan Australia Andrew Forrest, yang mengumumkan bulan lalu akan menutup tambang mereka di Australia Barat.
Miliarder tersebut mengumpulkan sebagian besar kekayaannya setelah mendirikan perusahaan tambang bijih besi Fortescue Ltd.
(ibn/spt)