Logo Bloomberg Technoz

Schroders Indonesia juga menilai sektor retail memiliki potensi cukup bagus. Faktor pendorongnya adalah dampak pembukaan kembali kegiatan perekonomian baru akan dirasakan sepenuhnya tahun ini. 

“Tahun lalu ekonomi memang sudah dibuka kembali tapi tidak full year. Di semester pertama, orang masih takut spending. Kepercayaan untuk ke mall masih setengah-setengah, restoran belum ramai, wedding dan pesta masih sedikit. Tahun ini, bisa dibilang semua sudah berjalan normal sepenuhnya mulai Januari, apalagi Pak Jokowi telah mengangkat PPKM,” jelas Irwanti.   

Kinerja Positif

Dalam laporan Market Outlook 2023 milik Schroders, berdasarkan data Bloomberg, pasar saham Indonesia tercatat menempati urutan kedua bursa berkinerja positif pada 2022. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mendapatkan return 4,1% dengan valuasi rata-rata 15-16 kali PE (Price Earning) atau harga laba.

Menurut Irwanti, hal ini didorong oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5% yang melewati rata-rata pertumbuhan GDP global sebesar 2,7% sehingga menarik minat investor. 

Schroders juga memprediksi bursa saham Indonesia masih akan solid meskipun tidak secerah 2022. Selain itu, mereka optimis Indonesia akan kembali masuk sebagai bursa saham berperforma positif tahun ini. Konsumsi domestik dinilai sebagai salah satu faktor yang menentukan hal tersebut.

“Ekonomi domestik pasti lebih baik dari tahun lalu. Ini penting karena konsumsi domestik Indonesia itu porsinya sangat besar, tidak seperti market lain yang berorientasi ekspor,” ungkapnya.

Irwanti menambahkan secara demografi Indonesia juga diuntungkan dengan jumlah populasi yang besar dan sebagian besar penduduknya berusia muda sehingga mendorong konsumsi domestik. “Kalau ada krisis global, negara yang konsumsi domestiknya besar cenderung lebih imun,” kata Irwanti.

Meskipun demikian, Schroders Indonesia mengimbau masih ada risiko penurunan ekspor dan harga batubara. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan neraca perdagangan karena transisi pasar ke sumber energi terbarukan. Alhasil membuat sentimen yang tidak baik terhadap pasar, terutama dengan adanya investor yang hanya melihat harga batu bara. 

“Kalau harga batu bara turun, investor ini akan menjual kepemilikan mereka di pasar saham tapi proporsi investor ini tidak banyak. Di sisi lain, ekspor bahan baku terbarukan juga mengalami kenaikan 80% tahun lalu. Jadi, neraca perdagangan kita memang akan turun tapi masih sangat manageable,” katanya.

(tar/wep)

No more pages