BI menyoroti hal serupa beberapa waktu lalu. Dalam asesmen terakhir BI, likuiditas bank saat ini dinilai masih cukup longgar dengan rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masih tinggi mencapai 27,8%, memberi ruang bagi bank untuk menggenjot kredit selain didukung juga oleh berbagai insentif dari bank sentral.
Jadi, meski tren pertumbuhan DPK masih rendah, Januari lalu hanya tumbuh 5,8%, likuiditas bank yang disimpan di instrumen Surat Berharga Negara (SBN) masih cukup besar dan akan didorong untuk dilepaskan supaya bisa tersalur lebih produktif untuk membiayai sektor riil sehingga roda ekonomi domestik berputar.
Sampai 20 Februari lalu, berdasarkan data Kementerian Keuangan, kepemilikan perbankan di SBN masih dominan, mencapai Rp1.480,6 triliun setara dengan 25,8% dari total SBN di pasar sekunder. Angka itu sudah menurun sekitar Rp82,26 triliun dibanding akhir Januari.
BI memperkirakan pertumbuhan kredit tahun ini ada di kisaran 10%-12%. BI memberikan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) dengan alokasi tahun ini senilai Rp122 triliun setelah tahun lalu sudah terpakai Rp163 triliun. Insentif itu diberikan bagi perbankan yang menyalurkan kredit ke sektor-sektor pilihan seperti sektor hilirisasi minerba, pertanian, perumahan dan UMKM.
BI tetap menetapkan Giro Wajib Minimum (GWM) di angka 9%, tertinggi sejak 2009 lalu. Level itu terbagi sebesar 5% berupa GWM moneter dan 4% GWM diberikan oleh bank sentral sebagai insentif kepada bank-bank yang menyalurkan ke kredit sektor tertentu.
"Penurunan GWM ini kita berikan pada bank kalau menyalurkan kredit. BI tidak mau likuiditas diturunkan untuk membeli segala macam. Ayo, bank silakan ada dana ini sepanjang untuk menyalurkan kredit," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI.
(roy/rui)