Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan ekonomi Indonesia berpotensi tumbuh lebih dari 5%, tahun ini. Alasannya, kondisi ekonomi Amerika Serikat (AS) dan perekonomian global tidak terlalu buruk, ditambah ketersediaan likuiditas dan sumber dana yang memadai dalam membiayai pertumbuhan ekonomi.

Purbaya menjelaskan kebangkrutan Bank SVB di AS telah menyadarkan bank sentral Federal Reserve (The Fed) bahwa mereka telah menerapkan kebijakan moneter terlalu ketat. Pasca kejadian pada Maret 2023 itu, The Fed berbenah dari sisi aturan dan kembali menyuntikkan dana dalam sistem perbankan untuk memperbaiki kondisi.

Kebijakan ini telah berdampak pada pertumbuhan ekonomi AS saat ini yang bertahan di kisaran 2-3% dan hal tersebut sesuai dengan potensi ekonomi AS. Faktor lainnya, soal angka pengangguran yang terjaga.

“Agar angka pengangguran tidak memicu inflasi, AS perlu menjaga unemployment rate di bawah 4,7% dan sekarang kondisinya memang di bawah itu,” terang Purbaya dalam CNBC Indonesia Economic Outlook 2024 di Jakarta, Kamis (29/3/2024).

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2003-2023 (Asfahan/Bloomberg Technoz)

“Kondisi ekonomi global juga tidak buruk-buruk amat. Asalkan tidak ada perang besar, apalagi perang nuklir, selesai itu semua.”

Purbaya menambahkan bila melihat ke Indonesia, saat ini kondisi loan to deposit (LDR) perbankan masih di kisaran 85% artinya perbankan nasional masih memiliki ruang untuk menyalurkan kredit ke sektor riil lebih besar. Belum lagi uang pemerintah yang menumpuk di Bank Indonesia (BI).

“Jadi amat terbuka ekonomi Indonesia tumbuh di atas 5% kalau kita pintar-pintar bikin kebijakan,” terangnya.

Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang masih tinggi 27,8%, dinilai memberi ruang bagi bank untuk menggenjot kredit selain didukung juga oleh berbagai insentif dari bank sentral.

Jadi, meski tren pertumbuhan DPK masih rendah, Januari lalu hanya tumbuh 5,8%, likuiditas bank yang disimpan di instrumen Surat Berharga Negara (SBN) masih cukup besar dan akan didorong untuk dilepaskan supaya bisa tersalur lebih produktif untuk membiayai sektor riil sehingga roda ekonomi domestik berputar.

Sampai 20 Februari lalu, berdasarkan data Kementerian Keuangan, kepemilikan perbankan di SBN masih dominan, mencapai Rp1.480,6 triliun setara dengan 25,8% dari total SBN di pasar sekunder. Angka itu sudah menurun sekitar Rp82,26 triliun dibanding posisi akhir Januari. 

BI memperkirakan pertumbuhan kredit tahun ini ada di kisaran 10%-12%. Ada potensi capaian kinerja kredit di batas atas sepanjang tahun ini terutama bila melihat sejauh ini rasio Loan to Deposit (LDR) bank masih di kisaran 86%, lebih rendah dibanding angka satu dekade terakhir sebelum pandemi di kisaran 93,9%. 

(roy/rui)

No more pages