"Gelar ini tidak pantas diberikan mengingat yang bersangkutan memiliki rekam jejak buruk dalam karir militer, khususnya berkaitan dengan keterlibatannya dalam pelanggaran berat HAM masa lalu" tulis Koalisi Masyarakat Sipil.
Mereka pun menuduh pemberian gelar kehormatan tersebut hanya sekadar langkah politis transaksi elektoral. Hal ini merujuk pada hubungan Jokowi dengan potensi kemenangan paslon nomor urut 02 pada Pemilu 2024, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka - putera sulung presiden.
"Pemberian gelar kehormatan kepada Prabowo Subianto akan semakin memperpanjang rantai impunitas dan dianggap sebagai hal 'normal' karena terduga pelakunya alih-alih diproses hukum tapi justru diberi gelar jenderal kehormatan," tulis siaran pers tersebut.
Presiden Jokowi sempat membantah pemberian gelar tersebut adalah transaksi elektoral. Dia pun membantah pemberian gelar tersebut tak etis dan melanggar hukum.
"Kalau kontestasi politik, ya kita berikan saja sebelum Pemilu [14 Februari 2024]. Ini kan setelah Pemilu jadi tidak ada anggapan-anggapan seperti itu," kata Jokowi di Mabes TNI, Rabu (28/2/2024).
Menurut dia, usulan pemberian gelar berasal dari Panglima TNI. Selain itu, dia memastikan Prabowo layak karena merupakan pensiunan TNI. Prabowo pun diberhentikan secara hormat sesuai Keppres 28/ABRI/1998.
"Ini bukan hanya sekali. Dulu juga pernah diberikan kepada bapak Susilo Bambang Yudhoyono, pernah diberikan kepada Pak Luhut binsar Panjaitan. Ya ini sesuatu yang sudah biasa di TNI maupun di Polri," ujar Jokowi.
Tuntutan Koalisi Sipil
1. Presiden untuk membatalkan rencana pemberian pangkat kehormatan terhadap Prabowo Subianto yang diduga terlibat dalam kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998;
2. Komnas HAM RI mengusut dengan serius kasus kejahatan pelanggaran HAM berat masa lalu dengan memanggil serta memeriksa Prabowo Subianto atas keterlibatannya dalam kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998;
3. Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk segera melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat dalam hal ini kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998;
4. Pemerintah dalam hal ini Presiden beserta jajarannya menjalankan rekomendasi DPR RI tahun 2009 yakni untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc, mencari 13 orang korban yang masih hilang, merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang, dan meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia;
5. TNI-POLRI untuk menjaga netralitas dan tidak terlibat dalam aktivitas politik.
(fik/frg)