Kurnia mengatakan, risiko tersebut memang tak terhindarkan seiring dengan upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas keuangan industri hulu migas, yang menyalurkan gas sesuai dengan HGBT.
Mandat itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 121/2020, yang mengamanatkan bahwa penerimaan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) atau industri hulu migas tak boleh berkurang atau kept-whole akibat adanya kewajiban pasok gas HGBT itu.
"[Namun]. penerimaan yang berkurang ini harapannya bisa dikompensasi dengan adanya peningkatan kinerja dan dampak multiplier effect yang dirasakan oleh industri-industri tadi," ujar dia.
Sepanjang 2023, realisasi penyaluran HGBT kepada 7 industri tersebut juga dilaporkan belum maksimal, atau hanya mecapai sekitar 90%.
Faktor Perjanjian Jual Beli Gas
Hal yang menjadi sebab itu, kata Kurnia, yakni mandat kept-whole yang tertuang dalam Pepres 121/2020 tersebut. Tak maksimalnya itu lantaran adanya ketidakcukupan penerimaan negara untuk meminimalkan kept-whole kepada KKKS tersebut.
Karena, kata Kurnia, kebijakan HGBT itu dimulai pada kisaran 2020-2021, atau setelah adanya kesepakatan perjanjian jual beli gas (PJBG) KKKS kepada industri yang berbeda dengan harga HGBT di US$6/MMbtu itu.
Ketika tidak bisa kept-whole, lanjutnya, maka penyerapan volume gas itu mesti kembali ke harga PJBG yang sudah disepakati di awal. Jika tidak mampu menyerap, maka volume gas akan dibatasi berdasarkan ketersediaan penerimaan negara untuk kept-whole itu.
"Sehingga gap itu, yang di kept whole dalam rangka meng-kept whole tadi itu, ada juga ketidakcukupan bagian negara yang direncanakan. Itu yang mungkin jadi faktor."
Tarik Ulur Evaluasi
Belakangan, kebijakan HGBT tersebut pun saat ini menuai polemik, antara tetap dilanjutkan atau akan dihentikan hingga penghujung tahun ini.
Saat ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih mengevaluasi soal usulan kelanjutan insentif kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) yang dikhususkan untuk industri melewati 2024.
Koordinator Program Migas Ditjen Migas Kementerian ESDM Rizal Fadjar Muttaqien mengatakan evaluasi tersebut menyusul adanya usulan dari Kementerian Perindustrian yang meminta kebijakan itu dilanjutkan.
"Dari kami ESDM masih menunggu evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan HGBT yang sudah berjalan," ujar Rizal.
Respons itu menyusul adanya surat Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita kepada Menteri ESDM Arifin Tasrif untuk meminta dukungan keberlanjutan HGBT setelah periode 2024.
Dalam surat bernomor B/25/M-IND/IND/I/2024 itu, menperin menilai kebijakan tersebut telah mendukung dan membuat industri dalam memenuhi kebutuhan harga gas yang kompetitif, dan dinilai menjadi daya tarik investasi asing maupun domestik.
Rizal tak menampik apa yang dikatakan oleh Menperin Agus Gumiwang. Hanya saja, Kementerian ESDM meminta para pengguna gas bumi atau industri tersebut juga perlu melakukan evaluasi penggunaan HGBT-nya.
"Artinya nanti ketika ada kinerja dari masing-masing pengguna gas bumi yang tidak sesuai komitmen awal, tentunya ada evaluasi dari teman-teman di Kemenperin untuk bisa mengajukan ataupun mengurangi pasokan atau menghentikan kebijakan HGBT," kata dia.
Hal itu ditujukan untuk memastikan ketersediaan dan dampak kepada penerimaan negara yang juga bakal tergerus, seiring dengan adanya kebijakan HGBT tersebut.
Selain itu, kata Rizal, pemerintah juga perlu memastikan bahwa serapan HGBT kepada industri itu dapat menimbulkan 'multiplier effect' kepada industri itu sendiri.
"Ketika nanti itu sudah diputuskan setelah 2024, tentunya juga diperhatikan ketersediaan negara yang digunakan utk penyesuaian HGBT," ujar dia
(ibn/ain)