“Industri kelapa sawit Indonesia masih harus menghadapi berbagai tantangan di tahun 2024, China sebagai salah satu konsumen terbesar minyak sawit juga masih bergulat dengan pelemahan ekonomi pasca Covid-19,” ujarnya.
Selain karena perekonomian China belum pulih, ketidakpastian pertumbuhan ekonomi global khususnya negara maju juga menghambat volume ekspor. Amerika Serikat masih dilanda inflasi di atas target dan negara-negara Uni Eropa memiliki ekonomi yang lemah dengan defisit fiskal yang meningkat diiringi inflasi yang masih tinggi.
Selanjutnya, penurunan volume ekspor juga diprediksi terjadi karena kebutuhan dalam negeri yang meningkat seiring dengan program mandatori biodiesel.
Adapun, konsumsi CPO dalam negeri terus bergerak naik. Pada tahun 2023, konsumsi dalam negeri mencapai 42,4% dari produksi. Padahal, tingkat konsumsi dari produksi hanya mencapai 28,5% pada 2018.
Perinciannya, pada 2023, konsumsi CPO untuk biodiesel mencapai 10,6 juta ton. Sementara untuk pangan 10,2 juta ton dan untuk oleokimia 2,2 juta ton. Dengan kata lain, program biodiesel paling banyak menguras pasokan CPO.
“Penggunaan biodiesel tahun 2023 sudah melebihi penggunaan untuk pangan,” ujarnya.
Apalagi, pemerintah pada 2024 bakal melakukan uji coba B40 sehingga kebutuhan CPO untuk biodiesel bakal meningkat. Eddy menjelaskan, sebenarnya pasokan saat ini cukup untuk uji coba B40.
Namun, pemerintah perlu melakukan perhitungan hati-hati dengan mempertimbangkan aspek produksi bila mau menambahkan bauran melebihi 40%.
“Implementasi B40 kalau sampai B40 masih aman, dengan B40 kebutuhan sekitar sampai 13 juta ton untuk energi. Anggap saja nanti pangan naik 10 juta karena kemarin di angka 9 juta atau pada kisaran 10-11 juta ton (pada 2024), ditambah 13 juta ton masih aman. Namun kalau dinaikan lagi sedikit agak riskan,” pungkasnya.
Dovana Hasiana
(dov/ain)