Bunga kredit yang bertahan tinggi menjadi salah satu alasan korporasi masih enggan mengajukan kredit baru ke bank. Hasil asesmen Bank Indonesia mencatat, pada Januari lalu Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) bank masih di kisaran 8,78%-8,81% sejak awal 2023.
SBDK terindikasi naik terutama di kelompok bank umum dan bank swasta nasional masing-masing 2 bps dan 7 bps. Bahkan SBDK di bank daerah dan bank asing naik lebih tinggi lagi masing-masing 36 bps dan 27 bps.
BI menjelaskan, pergerakan SBDK pada Januari itu disebabkan oleh balancing antara kenaikan biaya dana dengan penurunan margin keuntungan bank dan overhead cost (OHC). Kenaikan biaya dana yang terjadi di sepanjang tahun 2023 tercermin dari kenaikan Harga Pokok Dana untuk Kredit (HPDK) sebesar 52 bps.
"Peningkatan tersebut mencerminkan antara lain dampak dari persaingan likuiditas di pasar DPK serta efek tunda dari kenaikan BI-Rate selama periode Agustus 2022 hingga Januari 2023 dan kenaikan terakhir di Oktober 2023," jelas BI dalam publikasi yang dikutip, Senin (27/2/2024).
Sepanjang 2023, HPDK konsisten naik 52 bps, terjadi merata di semua kelompok bank terutama di bank-bank BUMN sebesar 58 bps, BPD sebanyak 56 bps, lalu bank swasta nasional 45 bps dan bank asing 45 bps.
Bank terdorong menurunkan margin keuntungan agar bisa mengimbangi kenaikan HPDK di mana selama 2023 lalu margin keuntungan bank turun 31 bps menjadi 2,15%. Penurunan margin keuntungan bank terutama di kelompok bank swasta nasional dan asing menjadi 2,38% dan 1,81%.
Bunga kredit baru pada Januari 2024 dari 9,43% menjadi 10,96% atau naik 63 bps selama Januari saja. "Kenaikan suku bunga kredit baru menjadi indikasi awal dari berlanjutnya kenaikan SBDK di bulan Januari 2024. Peningkatan suku bunga kredit baru terjadi pada hampir seluruh kelompok bank," jelas BI.
Sedangkan Rata-Rata Bergerak (RBB) tiga bulan untuk suku bunga kredit baru tercatat naik 2 bps jadi 9,73%. Peningkatan tertinggi suku bunga kredit baru berturut-turut terjadi pada kelompok bank asing yang naik 157 bps jadi 9,46%, lalu bank swasta nasional naik 89 bps jadi 10,99% dan BPD yang naik 63 bps jadi 9,42%. Sedangkan bank-bank BUMN mencatat penurunan suku bunga kredit baru sebesar 7 bps jadi 8,78% pada Januari.
Mengacu pada sektor, bunga kredit sektor perdagangan masih di atas rata-rata industri yang ada di angka 9,3%, akibat rasio kredit bermasalah di sektor tersebut yang masih tinggi.
Sementara suku bunga kredit sektor pertambangan menurun seiring dengan perbaikan NPL sektor terkait. "Sedangkan penurunan suku bunga kredit sektor Konstruksi disebabkan oleh peningkatan pangsa kredit yang direstrukturisasi yang meningkat sebesar Rp 6,29 Triliun sejak awal 2023," jelas Bank Indonesia.
Bank Didesak Lepas SBN
Meski ada indikasi terjadinya perebutan likuiditas DPK yang telah berdampak pada kenaikan bunga kredit pada Januari lalu, BI masih berkukuh menilai kondisi likuiditas di perbankan masih longgar. Indikasinya adalah rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang masih tinggi 27,8%, dinilai memberi ruang bagi bank untuk menggenjot kredit selain didukung juga oleh berbagai insentif dari bank sentral.
Jadi, meski tren pertumbuhan DPK masih rendah, Januari lalu hanya tumbuh 5,8%, likuiditas bank yang disimpan di instrumen Surat Berharga Negara (SBN) masih cukup besar dan akan didorong untuk dilepaskan supaya bisa tersalur lebih produktif untuk membiayai sektor riil sehingga roda ekonomi domestik berputar.
Sampai 20 Februari lalu, berdasarkan data Kementerian Keuangan, kepemilikan perbankan di SBN masih dominan, mencapai Rp1.480,6 triliun setara dengan 25,8% dari total SBN di pasar sekunder. Angka itu sudah menurun sekitar Rp82,26 triliun dibanding posisi akhir Januari.
BI memperkirakan pertumbuhan kredit tahun ini ada di kisaran 10%-12%. Ada potensi capaian kinerja kredit di batas atas sepanjang tahun ini terutama bila melihat sejauh ini rasio Loan to Deposit (LDR) bank masih di kisaran 86%, lebih rendah dibanding angka satu dekade terakhir sebelum pandemi di kisaran 93,9%.
Insentif likuiditas makroprudensial (KLM) masih akan diberikan tahun ini senilai Rp122 triliun setelah tahun lalu sudah terpakai Rp163 triliun. Insentif itu diberikan bagi perbankan yang menyalurkan kredit ke sektor-sektor pilihan seperti sektor hilirisasi minerba, pertanian, perumahan dan UMKM.
BI tetap menetapkan Giro Wajib Minimum (GWM) di angka 9%, tertinggi sejak 2009 lalu. Level itu terbagi sebesar 5% berupa GWM moneter dan 4% GWM diberikan oleh bank sentral sebagai insentif kepada bank-bank yang menyalurkan ke kredit sektor tertentu.
"Penurunan GWM ini kita berikan pada bank kalau menyalurkan kredit. BI tidak mau likuiditas diturunkan untuk membeli segala macam. Ayo, bank silakan ada dana ini sepanjang untuk menyalurkan kredit
Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia
"Penurunan GWM ini kita berikan pada bank kalau menyalurkan kredit. BI tidak mau likuiditas diturunkan untuk membeli segala macam. Ayo, bank silakan ada dana ini sepanjang untuk menyalurkan kredit," kata Perry.
Menurut analis, mendorong perbankan untuk memanfaatkan likuiditas yang parkir di SBN untuk mendukung laju kredit ketika DPK masih tumbuh rendah akan menjadi hal yang cukup menantang.
"Kesenjangan antara LDR saat ini dan rata-rata selama satu dekade terakhir mencerminkan adanya kesenjangan pendanaan sebesar Rp645,6 triliun yang setara dengan 43,5% dari total kepemilikan SBN bank umum saat ini," kata Fixed Income and Macro Strategist Lionel Prayadi dan Research Analyst Nanda Rahmawati dari Mega Capital Sekuritas dalam catatannya.
(rui/aji)