"Tim kita baru balik dari Washington untuk menindaklanjuti perbincangan mengenai IRA-AS. Kita harap itu bisa dituntaskan dalam beberapa waktu ke depan, tetapi tentu masih terhambat karena di sana ada Pilpres juga."
Sekadar catatan, melalui UU IRA tersebut, Pemerintah AS memang memberikan insentif fiskal bagi komoditas mineral yang digunakan untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik, termasuk di antaranya adalah nikel. Dana yang akan digelontorkan untuk insentif tersebut mencapai US$370 miliar.
Namun, baterai kendaraan listrik yang mengandung komponen mineral asal Indonesia kemungkinan besar tidak akan mendapatkan subsidi tersebut.
Musababnya, Indonesia dinilai tidak memenuhi syarat karena belum memiliki perjanjian perdagangan bebas atau free trade agreement (FTA) dengan AS. Tidak hanya itu, AS menilai industri pertambangan nikel RI didominasi oleh perusahaan China, yang dicap kurang etis dalam menjaga aspek lingkungan di industri pertambangan.
Pemerintah resmi mengakuisisi saham INCO sebesar 14% tersebut setara dengan 1.391.087.420 lembar saham, denga nilai Rp3050/lembar saham. Dari total itu, MIND ID bakal merogoh kocek senilai US$271 miliar atau sekitar Rp4,24 triliun, asumsi kurs saat ini.
Setelah divestasi itu, MIND ID pun bakal menggenggam sebanyak 34% porsi saham INCO, atau lebih besar dari pemegang saham terbesar lainnya, yakni Vale Canada Limited (VCL) sebanyak 33,9%, dan Sumitomo Metal Mining Co Ltd (SMM) 11,5%.
Dari hasil itu, MIND ID pun memastikan bakal menggenjot hilirisasi komoditas nikel dari proyek-proyek yang sedang dan akan digarap oleh Vale Indonesia.
"Meski sudak dikelola dengan baik ESG-nya, tetapi saya lihat program hilirisasinya masih jauh dari yang lain, ini perlu ditindaklanjuti," ujar Luhut.
(ibn/wdh)