Industri TPT—termasuk alas kaki—menjadi salah satu subsektor yang paling banyak melakukan PHK sepanjang tahun lalu. Per Desember 2022, data API mencatat setidaknya 97 pabrik pertekstilan merumahkan sekitar 30.000 tenaga kerjanya.
“Alasan utamanya adalah order sepatu menurun sampai rata-rata 50% dan garmen sekitar 30%. Belum lagi komoditas lainnya seperti furnitur, karet, dan lain-lain. Turunnya order dipicu oleh permintaan Amerika Serikat [AS] dan Uni Eropa [UE] yang menurun drastis dan diperkirakan sampai akhir 2023 baru pulih,” jelas Anton.
Dia mengelaborasi bahwa PHK di sektor manufaktur berorientasi ekspor sudah banyak terjadi. Dengan demikian, guna mengerem laju tersebut, pengusaha membutuhkan keringanan beban upah yang harus dibayarkan kepada karyawan.
“Untuk mengurangi terjadinya PHK massal, maka beberapa asosiasi tersebut di atas mengusulkan [permenaker tersebut]. Daripada PHK, lebih baik khusus untuk eksportir yang order-nya turun drastis, bisa diberikan fleksibilitas jam kerja seperti yang diatur oleh Permenaker No. 5/2023 tersebut,” tegasnya.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah melansir aturan baru yang memperbolehkan pelaku industri berorentasi ekspor untuk memangkas upah pekerjanya sebanyak maksimal 25%.
Pasal 7 aturan itu memaktub perihal kebijakan penyesuaian upah pada perusahaan industri padat karya berorientasi ekspor yang terdampak perubahan ekonomi global.
"[…] Penyesuaian besaran upah pekerja/buruh dengan ketentuan upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh paling sedikit 75% dari upah yang biasa diterima," tulis ayat pertama pasal tersebut.
Kelonggaran penyesuaian upah tersebut, menurut klaim Kemenaker, diambil berdasarkan kesepakatan bipartit antara pelaku usaha dan buruh.
(wdh/ggq)