Untuk pilar 1, RAN sudah memuat target vaksinasi, skrining, dan tata laksana. Kemenkes akan melakukan vaksinasi, skrining, dan tata laksana pada dua fase, yakni fase 1 pada 2023-2027 dan fase 2 pada 2028-2030.
Pada vaksinasi fase 1, Kemenkes menargetkan 90% anak perempuan usia 11 dan 12 tahun kelas 5 dan 6 atau setara, termasuk yang tidak bersekolah, menerima vaksin lengkap. Pada fase ini, Kemenkes juga menargetkan anak perempuan usia 15 tahun yang belum menerima vaksinasi harus menerima vaksinasi lanjutan.
Pada fase 2, 90% anak perempuan dan laki-laki usia 11 dan 12 tahun harus menerima vaksinasi lengkap. Selain itu, Kemenkes juga akan melakukan vaksinasi lanjutan untuk usia 15 tahun dan semua perempuan dewasa yang berusia di atas 21-26 tahun sesuai permintaan dan kebutuhan.
“Untuk usia 21 hingga 26 tahun ini, kami akan minta untuk mandiri, jadi dia tidak masuk pada program nasional tetapi program mandiri. Mereka yang ingin dan membutuhkan akan kita dorong untuk mendapatkan vaksinasi,” ujar dr. Sandra.
Target Skrining Kementerian Kesehatan
Untuk skrining fase pertama, Kemenkes menargetkan 70% perempuan berusia 30 hingga 69 tahun diskrining menggunakan tes DNA HPV.
Untuk fase kedua, Kemenkes menargetkan 75% perempuan berusia antara 30 hingga 69 tahun melakukan skrining setiap 10 tahun sekali. Metode utama skrining pada dua fase ini akan menggunakan tes DNA HPV.
“Kalau skrining, kami akan skrining seluruhnya (perempuan) usia 30 sampai 69 yang belum diskrining menggunakan tes HPV DNA dan kotesting dengan IVA. Pemeriksaan HPV itu menggunakan (alat) inspekulo sehingga sekaligus kita lihat, kita kerjakan IVA juga, kita juga dapatkan lesi prakanker karena lesi prakanker itu juga bagian untuk mendapatkan deteksi dini,” lanjut dr. Sandra.
Dalam skrining, dilakukan juga kotesting, yakni dua jenis tes secara bersamaan. Selain tes DNA HPV, Kemenkes akan melakukan pemeriksaan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) untuk membantu mengidentifikasi perubahan sel pada leher rahim.
Kotesting ini dimungkinkan karena skrining HPV dilakukan menggunakan alat yang disebut inspekulo agar dokter dapat mengambil sampel jaringan untuk tes HPV. Melalui proses ini, dokter tidak hanya dapat mengambil sampel, tetapi juga mengamati langsung untuk menggunakan IVA untuk mencari tanda atau lesi pra-kanker pada leher rahim.
Skrining ini memenuhi tujuan deteksi dini infeksi HPV dan lesi pra-kanker. Deteksi dini ini agar dapat dilakukan dan tata laksana yang tepat waktu yang meningkatkan peluang sembuh.
Untuk tata laksana, Kemenkes menyediakan jalur pengobatan tepat waktu dan komprehensif bagi perempuan dengan lesi prakanker atau perempuan yang terdiagnosis kanker leher rahim agar memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan yang berkualitas.
Ketua Himpunan Onkologi Indonesia, Dr. dr. Brahmana Askandar yang juga sebagai narasumber pada kegiatan temu media, menyampaikan bahwa WHO mengatakan 30-50% kanker dapat dicegah. Terutama yang disebabkan oleh infeksi.
“Salah satu contohnya adalah kanker serviks yang penyebabnya karena infeksi karena kanker serviks jelas diakibatkan oleh virus HPV,” kata Dr. dr. Brahmana.
Dr. dr. Brahmana melanjutkan, 90% serviks yang terinfeksi HPV berisiko tinggi sebenarnya dapat tereliminasi melalui tata laksana. Namun, HPV yang tidak terdeteksi dan tereliminasi pelan-pelan menjadi kanker dan disebut sebagai pra-kanker. Pra-kanker bisa saja menimbulkan keluhan atau tidak.
“Inilah pentingnya skrining rutin bagi perempuan. Ada ataupun tidak adanya keluhan itu harus melakukan skrining rutin, utamanya bagi yang telah seksual aktif. Kenapa harus skirining rutin? Kita skrining rutin itu tujuannya untuk menangkap perubahan dari serviks dan belum menimbulkan kanker serviks,” lanjut Dr. dr. Brahmana.
Pentingnya skrining yang dilakukan untuk perempuan agar ketika dokter menemukan kasus abnormal serviks saat skrining maka pasien dapat ditangani dengan segera. Selanjutnya, pasien menerima tindakan-tindakan sederhana untuk membantunya mendapatkan kesembuhannya kembali 100%.
Pengalaman Penyintas Kanker Serviks
Shanty Eka adalah seorang penyintas kanker serviks dan anggota komunitas kanker CISC, menceritakan perjalanannya sembuh dari kanker setelah melewati masa yang sulit dengan sakit yang luar biasa. Proses penyembuhan dilakukan dengan tindakan operasi, terapi, 25 kali radiasi luar, dan tiga kali radiasi dalam. Ia berharap program eliminasi kanker leher rahim tersebut membantu semua perempuan Indonesia terhindar dari kanker serviks yang berbahaya.
“Dengan adanya program eliminasi kanker serviks, saya ingin sekali semua perempuan di Indonesia mendapatkan vaksinasi agar tidak ada perempuan-perempuan Indonesia yang terkena kanker serviks,” kata Shanty berharap.
(dec/del)